Hukumnya Haram Meskipun Saling Ridho, Benarkah?
Yurifa Iqbal
Barangkali dalam keseharian kita pernah menjumpai pandangan dari sebagian orang yang menyatakan bahwa hal terpenting dalam melakukan aktivitas muamalah terkait harta adalah adanya saling ridho, kalau sudah saling ridho maka tidak masalah melakukan aktivitas muamalah terkait harta meskipun hukumnya haram!
Contohnya riba tidak masalah selama atas dasar saling ridho, tidak masalah membayar bunga atas akad hutang piutang selama atas dasar saling ridho, tidak masalah membayar denda atas keterlambatan jatuh tempo hutang piutang selama atas dasar saling ridho.
Pandangan-pandangan tersebut sama sekali tidak benar!
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam kitab
تفسير القرآن الكريم سورة النساء
juz 1 halaman 255 menyampaikan :
تحريم التعامل المحرم، ولو كان برضا من الطرفين
Tidak diperbolehkan (haram) melakukan akad muamalah terkait harta yang diharamkan syariah meskipun dilakukan atas dasar keridhoan antara kedua belah pihak yang berakad.
لأن التعامل المحرم أكل للمال بالباطل
Karena melakukan transaksi akad muamalah terkait harta yang hukumnya haram merupakan bentuk memakan (mengkonsumsi) harta dengan cara yang ilegal.
وعلى هذا فلو تراضى الطرفان على تعامل ربوي فإن ذلك محرم
Berdasarkan hal tersebut haram hukumnya apabila ada dua pihak saling ridho berakad melakukan praktek muamalah ribawi.
Selain itu perlu kiranya mengetahui definisi akad yang dijelaskan oleh para fuqaha alias ulama fiqih.
Di dalam kitab
فقه المعاملات المالية المقارن صياغة جديدة و أمثلة معاصرة
halaman 7 Syaikh Doktor Alauddin Zaktariy menjelaskan definisi akad menurut para fuqaha sebagai berikut :
ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله
Ikatan antara ijab dan qobul berdasarkan prinsip Syariah yang berdampak pada status objek akad.
atau definisi akad yang lain
تعلق كلام أحد العاقدين بالآخر شرعا على وجه يظهر أثره في المحل
Keterkaitan ucapan antara satu pihak yang berakad dengan pihak lainnya secara syar'i pada suatu objek akad yang berdampak pada status objek akad.
Misalnya seorang pembeli melakukan akad jual beli mobil second dengan seorang penjual mobil. Jika akad jual beli sah maka akan berdampak pada beralihnya kepemilikan mobil dari penjual ke pembeli. Begitu pula berdampak pada beralihnya kepemilikan alat bayar (uang) dari pembeli ke penjual.
Mengapa para fuqaha harus mencantumkan kata syar'an/شرعا (secara syar'i, sesuai syariah) pada definisi akad tersebut?
Syaikh Doktor Alauddin Zaktariy kemudian menjelaskan :
لإخراج الارتباط بين المتعاقدين على وجه غير مشروع كارتباط المتعاقدين بعقد ربا
Untuk mencampakkan komitmen & kesepakatan kedua pihak yang berakad atas sesuatu yang melanggar syariah seperti kesepakatan kedua pihak yang berakad riba.
Dalam kitab
الفقه الإسلامي وأدلته
juz 4 halaman 82 juga dijelaskan :
وإنما هو الارتباط الذي يقره الشرع، فقد يحدث الاتفاق بين الإرادتين، ويكون العقد باطلاً لعدم توافر الشروط المطلوبة شرعا
Akad hanyalah teranggap apabila ada ikatan yang dibenarkan dan diizinkan oleh syariah karena terkadang ada kesepakatan yang dilakukan oleh kedua pihak yang berakad namun akadnya batil alias ilegal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dituntut oleh syariah.
Kesimpulannya adalah kesepakatan dan saling ridho dalam akad muamalah harus didasarkan pada syariah. Kesepakatan dan saling ridho atas hal yang dilarang syariah tidak otomatis kemudian menjadikan akad tersebut legal & boleh!
Akad muamalah yang melanggar syariah hukumnya haram!
Karena itu kesepakatan atas tambahan dalam akad hutang piutang hukumnya haram karena merupakan bentuk riba yang hukumnya haram dalam syariah meskipun kedua belah pihak yang berakad sama-sama rela dan ridha!
Semoga akad-akad muamalah yang kita lakukan senantiasa sesuai syariah dan barokah. Aamiin.
Demikian pembahasan ringkas terkait hal ini. Semoga bermanfaat.
و الله تعالى أعلم بالصواب