Taghrib Atas Pelaku Zina Menurut 4 Madzhab
Yurifa Iqbal
Dalam suatu forum bulanan ada salah seorang peserta yang mengatakan bahwa istilah taghrib yaitu hukuman yang dijatuhkan atas pelaku zina yang belum menikah baru kali ini dia dengar. Begitu jauhnya sebagian umat Islam (bahkan yang mengaku sebagai aktivis dakwah!) dari tsaqafah Islam yang mulia. Apalagi yang berkaitan dengan hukum pidana syariah, tentu banyak kaum muslimin yang lebih tidak paham lagi.
Di dalam kitab
معجم لغة الفقهاء
versi Microsoft Word halaman 25 disampaikan :
التغريب ، وهو عقوبة تقضي بإبعاد المتهم من البلاد في حالات معينة
At Taghrib adalah hukuman berupa pengasingan terdakwa pelaku kriminal dari negerinya dalam kasus-kasus tertentu.
Diantara kasus kriminal yang menuntut untuk dijatuhkannya hukuman taghrib ini adalah hukuman atas pelaku zina yang belum pernah menikah.
Di dalam kitab
الموسوعة الفقهية الكويتية
juz 16 halaman 304 - 305 pada pembahasan
حبس البكر الزاني بعد جلده
disampaikan :
اتفق الفقهاء على أن حد البكر الزاني مائة جلدة؛ للآية: الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Para fuqaha sepakat bahwa hukuman yang dijatuhkan atas pelaku zina yang belum pernah menikah adalah dicambuk 100 kali berdasarkan ayat Al Quran : pezina perempuan dan pezina laki-laki maka cambuklah masing-masing dari keduanya 100 cambukan.
واختلفوا في نفيه الوارد في قوله صلى الله عليه وسلم لرجل زنى ابنه: وعلى ابنك جلد مائة، وتغريب عام
Namun para fuqaha berselisih pendapat terkait hukuman pengasingan (dibuang dari negeri asalnya) yang didasarkan dari sabda Rasulullah Muhammad ﷺ kepada seseorang yang memiliki putra yang berzina : anak laki-laki mu wajib dicambuk 100 kali dan diasingkan ke negeri yang jauh selama setahun.
ولهم في ذلك ثلاثة أقوال
Ada 3 pendapat fuqaha terkait bahasan ini :
القول الأول: أن التغريب جزء من حد الزنى، وهو واجب في الرجل والمرأة، فيبعدان عن بلد الجريمة إلى مسافة القصر، وهذا مذهب الشافعية، والحنابلة، وزاد الشافعية: أنه إذا خيف إفساد المغرب غيره، قيد، وحبس في منفاه
Pendapat pertama : taghrib adalah bagian dari hukuman zina, wajib dijatuhkan atas pelaku zina laki-laki dan pezina perempuan, mereka diasingkan dari negeri tempat zina tersebut dilakukan sejauh jarak yang membolehkan qashar shalat, ini adalah pendapat madzhab Asy Syafiiyah dan Al Hanabilah, ada satu tambahan dari madzhab Asy Syafiiyah yaitu jika pelaku kriminal zina yang diasingkan ini dikhawatirkan akan merusak dan mengganggu orang lain maka dia harus diborgol dan dipenjara di tempat pengasingannya tersebut.
القول الثاني: إن التغريب جزء من حد الزنى أيضًا، وهو واجب في الرجل دون المرأة، فلا تغرب خشية عليها، وينبغي حبس الرجل وجوبًا في منفاه، وهذا مذهب المالكية، والأوزاعي؛ للمنقول عن علي ـ رضي الله عنه ـ وقال اللخمي من أصحاب مالك: إذا تعذر تغريب المرأة، سجنت بموضعها عامًا، لكن المعتمد الأول
Pendapat kedua : taghrib adalah bagian dari hukuman zina juga, wajib dijatuhkan atas pezina laki-laki saja sedangkan pezina perempuan tidak dijatuhi hukuman taghrib karena khawatir akan keselamatannya, dan pezina laki-laki ini wajib dipenjara di tempat pengasingannya tersebut, ini adalah pendapat madzhab Al Malikiyah dan pendapat Imam Al Auzaiy yang dinukil dari Ali bin Abi Thalib - semoga Allah meridhoinya -. Imam Al Lakhamiy dari madzhab Al Malikiyah menyatakan : jika mustahil mengasingkan pezina perempuan maka pezina perempuan tersebut dipenjara selama setahun di negerinya, meskipun pendapat resmi madzhab Al Malikiyah adalah sebagaimana yang pertama tadi yaitu hukuman ini hanya dijatuhkan atas pezina laki-laki .
القول الثالث: إن التغريب ليس جزءًا من حد الزنى، بل هو من باب السياسة والتعزير، وذلك مفوض إلى الحاكم، وهذا مذهب الحنفية، واستدلوا بقول عمر ـ رضي الله عنه ـ بعد أن نفى رجلًا ولحق بالروم: لا أنفي بعدها أبدًا، وبقول علي -رضي الله عنه-: كفى بالنفي فتنة ـ وقالوا: إن المغرب يفقد حياءه بابتعاده عن بلده ومعارفه، فيقع في المحظور، لكن إذا رأى الحاكم حبسه في بلده مخافة فساده، فعل
Pendapat ketiga : taghrib ini bukan bagian dari hukuman zina, akan tetapi taghrib ini merupakan kebijakan politis & sanksi yang diserahkan kepada ijtihad penguasa, ini adalah pendapat madzhab Al Hanafiyah. Fuqaha Al Hanafiyah berdalil dengan qaul Umar bin Khattab - semoga Allah meridhoinya - setelah mengasingkan seorang laki-laki dan laki-laki tersebut bertemu dengan orang Romawi, Umar mengatakan : setelah ini saya tidak akan mengasingkan orang lagi selama-lamanya, juga dalilnya dari perkataan Ali bin Abi Thalib - semoga Allah meridhoinya - : cukuplah pengasingan itu sebagai suatu fitnah/ujian/kekacauan. Al Hanafiyah juga menyampaikan bahwa sesungguhnya orang yang diasingkan akan kehilangan rasa malu karena telah dijauhkan dari negeri asalnya dan juga jauh dari teman-temannya sehingga bisa menyebabkan dia jatuh dalam perkara yang dilarang agama, akan tetapi jika penguasa memandang perlu untuk memenjarakannya di negerinya tersebut karena khawatir akan kerusakan yang diperbuat maka penguasa bisa melakukannya.
Demikian pembahasan ringkas terkait hal ini.
الله تعالى أعلم بالصواب