Hukum Menyewakan Lahan Pertanian Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani
Yurifa Iqbal
Barangkali di sekitar kita banyak kaum muslimin yang melakukan praktek menyewakan lahan atau tanah untuk aktivitas pertanian, terutama di desa-desa. Secara Syariah bolehkah praktek menyewakan lahan atau tanah untuk aktivitas pertanian ini? Bagaimana hukumnya dalam pandangan ulama Syariah?
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam karyanya An Nizham Al Iqtishadiy fil Islam telah menjelaskan hukum menyewakan lahan atau tanah untuk aktivitas pertanian ini. Kemudian untuk lebih memudahkan para pembaca dan pendengar dalam memahami kitab tersebut, maka Syaikh Muhammad Ahmad An Nadi membuat semacam taammulat (penelaahan, kontemplasi) dalam bentuk point-point.
Syaikh Muhammad Ahmad An Nadi di dalam kitab
إرواء الصادي من نمير النظام الاقتصادي في الإسلام
juz 1 pada halaman 411 - 412 menyampaikan :
1. لا يجوز لمالك الأرض أن يؤجر أرضه للزراعة مطلقا
Pemilik lahan atau tanah tidak diperbolehkan menyewakan lahan atau tanahnya untuk aktivitas pertanian, mutlak tidak diperbolehkan.
2. لا يجوز لمالك الأرض أن يؤجر الأرض للزراعة بشيء مما تنبته من الطعام أو غيره، ولا بشيء مما يخرج منها مطلقا
Pemilik lahan atau tanah tidak diperbolehkan menyewakan lahan atau tanahnya untuk aktivitas pertanian dengan kompensasi (upah) berupa makanan atau selain makanan yang tumbuh dari aktivitas pertanian tersebut, secara mutlak tidak diperbolehkan dengan kompensasi apapun yang dihasilkan oleh tanah tersebut.
3. من أدلة منع إجارة الأرض للزراعة الأحاديث النبوية الشريفة الآتية
Diantara dalil terlarangnya menyewakan lahan atau tanah untuk aktivitas pertanian adalah hadits-hadits Rasulullah Muhammad ﷺ yang mulia berikut ini :
1) ما جاء في صحيح البخاري: من كانت له أرض فليزرعها، أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه
Dalam shahih Bukhari : siapa saja yang memiliki tanah maka tanami-lah tanah itu atau berikan tanah itu kepada saudaranya, jika dia tidak berkenan memberikannya maka tahanlah tanah itu.
2) ما جاء في صحيح مسلم: نهى رسول الله أن يؤخذ للأرض أجر أو حظ
Dalam shahih Muslim : larangan Rasulullah Muhammad ﷺ terkait mengambil upah sewa atau bagi hasil tanah pertanian.
3) ما جاء في سنن النسائي: ازرعها أو امنحها أخاك
Dalam sunan An Nasai : tanami-lah tanah itu atau berikanlah tanah itu kepada saudaramu.
4) ما جاء في سنن أبي داود: من كانت له أرض فليزرعها، أو فليزرعها أخاه، ولا يكاريها بثلث، ولا بربع، ولا بطعام مسمى
Dalam sunan Abu Dawud : siapa saja yang memiliki tanah maka tanami-lah tanah itu atau berikan tanah itu kepada saudaranya agar tanah itu bisa ditanaminya, dan jangan sewakan tanah itu dengan upah 1/3 atau 1/4 dari hasilnya dan jangan pula disewakan dengan kompensasi makanan tertentu.
5) ما روى البخاري عن سالم أن عبد الله بن عمر ترك كراء الأرض
Riwayat Imam Bukhari dari Salim bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar tidak mem-praktek-kan sewa tanah pertanian.
4. رد الشيخ تقي الدين النبهاني رحمه الله على شبهة تأجير أرض خيبر للزراعة بما يأتي
Kemudian Syaikh Taqiyuddin An Nabhani رحمه الله membantah syubhat terkait tanah atau lahan Khaibar yang disewakan untuk aktivitas pertanian sebagai berikut :
1) إن تأجير النبي لأرض خيبر على النصف ليس من باب تأجير الأرض للزراعة
Sesungguhnya Rasulullah Muhammad ﷺ menyewakan 1/2 lahan atau tanah Khaibar bukan untuk aktivitas pertanian.
2) إن أرض خيبر كانت شجرا، وليست أرضا ملساء. وما فيها من زرع أقل من مساحة الشجر
Sesungguhnya lahan atau tanah Khaibar dulu telah berpohon, bukan tanah yang rata tanpa pepohonan (alias bukan tanah yang tidak ada tumbuh-tumbuhan), disana tidak ada area tanah pertanian yang kurang dari pohon.
3) كان النبي يبعث إلى أهل خيبر عبد الله بن رواحة خارصا بين المسلمين ويهود
Dahulu Rasulullah Muhammad ﷺ mengutus Abdullah bin Rawahah kepada penduduk Khaibar sebagai kharish antara kaum muslimin dan Yahudi.
4) بعد أن أصيب عبد الله بن رواحة بمؤتة كان جبار بن صخر هو الذي يخرص عليهم
Setelah Abdullah bin Rawahah gugur sebagai syuhada di perang Mu'tah maka tugas kharish antara kaum muslimin dan Yahudi digantikan oleh Jabar bin Shakhr.
5) المعنى اللغوي للخارص: هو الذي يقدر الثمر، وهو على أصوله قبل أن يجد
Al Kharish secara bahasa maknanya adalah aktivitas seseorang yang memperkirakan hasil tanaman/tumbuhan dimana hasil tanaman/tumbuhan tersebut masih berada di pohonnya sebelum dipotong atau diambil.
6) أرض خيبر ليست من باب تأجير الأرض، بل هي من باب المساقاة، والمساقاة جائزة
Lahan atau tanah Khaibar tidaklah disewakan akan tetapi tanah Khaibar ketika itu termasuk akad musaqat, dan akad musaqat secara Syariah hukumnya boleh.
7) فهم الصحابة من نهي النبي تحريم إجارة الأرض فامتنعوا عن ذلك, ومنهم عبد الله بن عمر
Para sahabat memahami bahwa konsekuensi larangan Baginda Rasulullah Muhammad ﷺ dalam bahasan ini adalah haramnya menyewakan lahan atau tanah untuk aktivitas pertanian sehingga para sahabat tidak mem-praktek-kannya, diantara sahabat tersebut adalah Abdullah bin Umar.
8) تجوز إجارة الأرض لغير الزراعة. فيجوز للمرء أن يستأجر الأرض لتكون مراحا، أو مقيلا أو مخزنا لبضاعته، أو للانتفاع بها بشيء معين غير الزراعة
Boleh menyewa tanah atau lahan selain untuk aktivitas pertanian, maka seorang Muslim boleh menyewa tanah atau lahan untuk dibuat kandang ternak atau dibuat tempat istirahat di siang hari, atau dibuat gudang untuk menyimpan komoditas jualannya, atau dimanfaatkan dengan tujuan tertentu SELAIN AKTIVITAS PERTANIAN.
Demikian pembahasan ringkas terkait hukum menyewakan lahan atau tanah untuk aktivitas pertanian menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani yang dijelaskan dalam bentuk point-point oleh Syaikh Muhammad Ahmad An Nadi.
Kesimpulan hukum dari Syaikh Taqiyuddin An Nabhani ini boleh jadi berbeda dengan pandangan ulama-ulama lainnya. Boleh jadi ada ulama ahli ilmu yang membolehkan sewa lahan atau tanah untuk pertanian! Jika terjadi perbedaan pendapat seperti ini maka yang harus dikedepankan oleh kaum muslimin adalah saling menghargai dan saling menghormati serta berlapang dada.
Semoga Allah melembutkan jiwa-jiwa kaum muslimin.
و الله تعالى أعلم بالصواب