Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penentuan Hari Arafah Tidak Harus Berdasarkan Wukuf Jamaah Haji Di Arafah, Benarkah? Bagian 2


Yurifa Iqbal

Dalam tulisan bagian 1 yang lalu penulis telah menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli ilmu syar’i kontemporer seputar bahasan penentuan hari Arafah ketika memperhatikan ikhtilaf mathali. Telah penulis paparkan pendapat pertama yang ringkasnya menyatakan bahwa hari Arafah adalah hari ketika para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah dan sesungguhnya kaum muslimin mengikuti waktu wukuf jamaah haji di Arafah dalam penentuan hari Arafah. Telah penulis paparkan pula nama-nama ulama dan masyayikh yang mendukung pendapat pertama ini serta dalil dan argumentasi mereka.

Perlu penulis sampaikan di awal bahwa posisi penulis adalah TAQLID PADA PENDAPAT PERTAMA yang menyatakan bahwa hari Arafah adalah hari ketika para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah dan sesungguhnya kaum muslimin mengikuti waktu wukuf jamaah haji di Arafah dalam penentuan hari Arafah, serta keputusan Idul Adha ini ditentukan oleh Amir Makkah. Sekali lagi, PENULIS MENGAMBIL & MENGADOPSI PENDAPAT PERTAMA.

Pada tulisan bagian 2 ini penulis akan coba memaparkan pendapat kedua terkait dengan penentuan hari Arafah ini ketika terjadi ikhtilaf mathali, para ulama pendukungnya, serta dalil dan argumentasinya secara ringkas. Harapannya adalah terkait khilafiyah fiqhiyyah seperti ini bisa disikapi dengan saling tasamuh, toleransi, berlapang dada antara sesama kaum muslimin, tidak saling mengejek, dan tidak saling menghina.

Masih merujuk ke kitab
النور الساطع من أفق المطالع في تحديد يوم عرفة إذا اختلفت المطالع
pada halaman 7 sampai dengan 10 dipaparkan secara detail oleh penulis kitab. Namun tidak semua penulis kutip dalam tulisan ini semata agar tulisan ini tidak terlalu panjang.

القول الثاني : أن يوم عرفة هو اليوم التاسع من ذي الحجة سواء وافق هذا اليوم وقفة الحجيج بعرفة أم لم يوافق ، وأن لكل أهل قطر رؤيتهم ، وممن أخذ بهذا القول فضيلة الشيخ محمد بن صالح العثيمين - رحمه الله - ، والشيخ عبد الله بن جبرين ، و الدكتور هاني بن عبد الله الجبير ،  والأستاذ الدكتور أحمد الحجي الكردي ، والأستاذ الدكتور خالد المشيقح – حفظهم الله - ، وآخرون

Pendapat kedua menyatakan bahwa sesungguhnya hari Arafah adalah hari kesembilan (ke-9) bulan Dzulhijjah baik bertepatan & bersamaan waktunya dengan wukuf jamaah haji di Arafah atau berbeda hari (tidak bertepatan waktunya). Dan penduduk dari setiap negeri melakukan rukyat hilal sendiri-sendiri. Ulama yang mengambil pendapat ini adalah Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin  - رحمه الله -, Syaikh Abdullah bin Jibrin, Syaikh Doktor Hani bin Abdillah Al Jabir, Profesor Doktor Ahmad Al Hajiy Al Kurdiy, dan Profesor Doktor Khalid Al Musyaiqih – حفظهم الله – serta syaikh-syaikh lainnya.

Lalu apa dalil dari pendapat kedua ini? Apa hujjah dan argumentasi mereka? 

Mari kita simak :

 أن هذه المسألة متفرعة من أصل الخلاف المشهور في مسألة اختلاف المطالع بين قطر وآخر في شهر رمضان وشوال ، فينبغي أن تبنى وتخرج عليه ، وأدلة هذه المسألة المتفرعة هي نفسها أدلة تلك فليرجع إليها في مظانها . ولا فرق في اختلاف المطالع في جميع الشهور ، وإذا جازت المخالفة في الصوم والإفطار، فلم لا تجوز مخالفتها في ذي الحجة وغيره من الشهور

Argumentasi yang pertama adalah bahwa sesungguhnya pembahasan ini adalah cabang dari pokok pembahasan yang sudah masyhur diperselisihkan antara ahli ilmu terkait ikhtilaf mathali (yaitu memperhatikan perbedaan munculnya hilal awal bulan di negeri-negeri kaum muslimin) antara satu negeri Islam dengan negeri Islam yang lain dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal, maka sepatutnya pula pembahasan penentuan hari Arafah serta awal Dzulhijjah ditetapkan & dibangun serta diqiyaskan dari konsep ikhtilaf mathali ini. Adapun dalil-dalil cabang pembahasan penentuan hari Arafah dan awal Dzulhijjah adalah sebagaimana dalil-dalil yang ada dalam bahasan ikhtilaf mathali antara satu negeri Islam dengan negeri Islam yang lain dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal, jadi bisa dikaji terkait argumentasinya, dan tidak ada perbedaan konsep ikhtilaf mathali ini di seluruh bulan-bulan qamariyah hijriyah sehingga dalam konsep ikhtilaf mathali ini akan memungkinkan terjadinya perbedaan awal Ramadhan dan awal Syawal diantara negeri-negeri Islam, lalu mengapa pula tidak boleh terjadi perbedaan pada awal bulan Dzulhijjah dan bulan-bulan qamariyah hijriyah lainnya diantara negeri-negeri Islam?

ولهذا القائلين باختلاف المطالع لم يُنقَل عن أحدٍ منهم تفريقٌ في هذه المسألة 

Oleh karena itulah tidak ada satupun nukilan riwayat pendapat dari para ulama yang mengambil konsep ikhtilaf mathali dalam membedakan antara penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, serta bulan-bulan qamariyah hijriyah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin  - رحمه الله –pernah menjawab pertanyaan seputar bahasan ini.

قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله في إجابة له لسؤال حول هذه المسألة 
".. هذا 
يبنى على اختلاف أهل العلم : هل الهلال واحد في الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف
المطالع ؟
والصواب: أنه يختلف باختلاف المطالع  

Jawaban Syaikh Ibn Utsaimin terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau terkait bahasan ini : pembahasan penentuan hari Arafah serta awal Dzulhijjah ditetapkan & dibangun dari perbedaan pandangan ahli ilmu : apakah satu hilal berlaku untuk seluruh dunia atau hilal itu berbeda-beda berdasarkan konsep ikhtilaf mathali? Yang benar menurut Syaikh Ibn Utsaimin adalah hilal itu berbeda-beda berdasarkan konsep ikhtilaf mathali.

فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة 
وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد 

Misalnya, jika hilal betul-betul telah terlihat di Mekkah, dan ketika itu di Mekkah adalah hari kesembilan Dzulhijjah, sementara di negeri yang lain juga telah terlihat hilal sehari sebelum Mekkah dimana menurut penduduk Mekkah hari tersebut adalah hari Arafah sedangkan bagi penduduk negeri itu adalah hari kesepuluh (ke-10) Dzulhijjah, maka bagi penduduk negeri itu tidak diperbolehkan berpuasa saat itu karena hari kesepuluh (ke-10) Dzulhijjah adalah HARI RAYA IDUL ADHA.

Kemudian penulis kitab
النور الساطع من أفق المطالع في تحديد يوم عرفة إذا اختلفت المطالع
melanjutkan penjelasannya :

بل العجب أن بعض القائلين بعدم اعتبار اختلاف المطالع كالحنفية ذُكر عنهم أنهم في شهر ذي الحجة يعتبرون اختلاف المطالع فيه 
!!

Bahkan yang menakjubkan adalah sebagian ulama yang berpendapat tidak teranggapnya ikhtilaf mathali alias harus wihdatul mathali  (kesatuan mathla yakni munculnya hilal awal bulan untuk seluruh negeri kaum muslimin) seperti fuqaha Al Hanafiyah ternyata untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah memakai konsep ikhtilaf mathali! 

فقد جاء في " حاشية رد المختار " لابن عابدين ( 3 / 325 ) ما نصه : " تنبيه: يفهم من كلامهم في كتاب الحج أن اختلاف المطالع فيه معتبر ، فلا يلزمهم شيء لو ظهر أنه رئي في بلدة أخرى قبلهم بيوم ، وهل يقال كذلك في حق الأضحية لغير الحجاج ؟ لم أره ، والظاهر نعم ، لأن اختلاف المطالع إنما لم يعتبر في الصوم ( أي : صوم رمضان ) لتعلقه بمطلق الرؤية . وهذا بخلاف الأضحية فالظاهر أنها كأوقات الصلوات يلزم كل قوم العمل بما عندهم، فتجزئ الأضحية في اليوم الثالث عشر وإن كان على رؤيا غيرهم هو الرابع عشر والله أعلم "

Di dalam kitab
 حاشية رد المختار " لابن عابدين ( 3 / 325 )
yang merupakan kitab rujukan ulama Al Hanafiyah disampaikan : informasi : dipahami dari keterangan ulama Al Hanafiyah dalam bab Haji bahwa sesungguhnya konsep ikhtilaf mathali dalam bab Haji mu’tabar alias dipertimbangkan, jika telah terlihat hilal di negeri Islam sehari sebelum negeri Islam yang lain, maka hilal yang terlihat sehari sebelumnya tersebut tidak mengikat bagi negeri Islam lainnya, apakah ini juga berlaku untuk udhiyah penyembelihan hewan qurban bagi umat Islam yang tidak berhaji? tidak ada nukilan terkait hal tersebut, yang paling mendekati kebenaran adalah ya, karena sesungguhnya ikhtilaf mathali tidak teranggap hanya pada bab Puasa Ramadhan karena terkait dengan dalil ke-muthlaq-an rukyatul hilal Ramadhan, berbeda dengan bab udhiyah penyembelihan hewan qurban, maka yang paling mendekati kebenaran adalah waktu udhiyah penyembelihan hewan qurban adalah seperti waktu-waktu shalat dimana umat Islam terikat dengan waktu shalat daerahnya masing-masing, jadi, sah penyembelihan hewan qurban di hari ketiga belas (ke-13) Dzulhijjah meskipun menurut rukyah penduduk negeri Islam yang lain itu adalah hari keempat belas (ke-14) Dzulhijjah. Wallaahu ‘Alam.

Nah, itu adalah kutipan keterangan yang ada dalam kitab fuqaha Al Hanafiyah, padahal sudah masyhur diantara kaum muslimin bahwa madzhab Al Hanafiyah menganut konsep wihdatul mathali dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal, namun khusus penentuan awal bulan Dzulhijjah madzhab Al Hanafiyah mengambil konsep ikhtilaful mathali!

  أن يوم عرفة المقصود منه هو اليوم التاسع من ذي الحجة ، وأن المعتبر فيه هو التاريخ الهجري في القطر الذي يتواجد فيه الإنسان لا مطلق الوقوف بجبل عرفات ، وهذا هو المعهود من صنيع أهل العلم في تعريف يوم عرفة حيث يذكرون في بيان تعريف يوم عرفة أنه اليوم التاسع من ذي الحجة 
( انظر " القاموس الفقهي " ، و " معجم لغة الفقهاء " ، وكذا شروح كتب السنة )

Argumentasi kedua, sesungguhnya hari Arafah yang dimaksud adalah hari kesembilan (ke-9) bulan Dzulhijjah, dan sesungguhnya hari kesembilan (ke-9) bulan Dzulhijjah yang teranggap adalah sesuai penanggalan hijriyah masing-masing penduduk suatu negeri ketika mereka melihat hilal Dzulhijjah bukan didasarkan wukufnya kaum muslimin di bukit Arafah secara muthlaq, ini merupakan perkara yang umumnya telah dikenal diantara ulama ketika mereka mendefinisikan hari Arafah dimana hari Arafah didefinisikan sebagai hari kesembilan (ke-9) bulan Dzulhijjah.

Adakah ulama salaf yang mendefinisikan hari Arafah sebagai hari kesembilan (ke-9) bulan Dzulhijjah? Jawabannya ada. Yaitu Imam Ibn Qudamah ulama dari madzhab Al Hanabilah, seorang ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu syar’i.

قال ابن قدامة في " المغني " ( 4 / 442 ) : " فأما يوم عرفة : فهو اليوم التاسع من ذي الحجة ، سمي بذلك لأن الوقوف بعرفة فيه ، وقيل : سمي يوم عرفة لأن إبراهيم عليه السلام أري في المنام ليلة التروية أنه يؤمر بذبح ابنه ، فأصبح يومه يتروى ، هل هذا من الله أو حلم ؟ فسمي يوم التروية ، فلما كانت الليلة الثانية رآه أيضا فأصبح يوم عرفة ، فعرف أنه من الله ، فسمي يوم عرفة ، وهو يوم شريف عظيم ، وعيد كريم ، وفضله كبير

Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitab 
" المغني " ( 4 / 442 ) :
adapun hari Arafah adalah hari kesembilan (ke-9) bulan Dzulhijjah, dinamakan demikian karena umat Islam sedang melakukan wukuf di Arafah pada waktu itu, menurut satu pendapat dinamakan hari Arafah karena Nabi Ibrahimعليه السلام ketika tidur di malam Tarwiyah ditampakkan bahwa Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih putranya, lalu di pagi harinya Nabi Ibrahim merenung, apakah hal tersebut berasal dari perintah Allah atau hanya sekedar mimpi? Maka kemudian hari tersebut dinamakan hari Tarwiyah, kemudian ketika malam berikutnya Nabi Ibrahim kembali ditampakkan bahwa Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih putranya, maka pada pagi harinya dinamakanlah hari Arafah karena Nabi Ibrahim telah mengetahui bahwa itu merupakan perintah Allah, sehingga disebut hari Arafah karena hari itu adalah hari yang terhormat, agung, perayaan yang mulia, dan keutamaan yang besar.

Argumentasi yang ketiga adalah :

  قد يحتج لهذا القول أنه جاء في رواية التصريح بأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصوم يوم التاسع من ذي الحجة ، وذلك فيما رواه أبو داود ( 2437 ) ، وأحمد ( 22690 ) ، والنسائي ( 2372 ) وصححه الشيخ الألباني عن بعض أزواج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم تسع ذي الحجة  ، ويوم عاشوراء ، وثلاثة أيام من كل شهر أول اثنين من الشهر والخميس ) 

Terkadang juga pendapat ini didasarkan pada riwayat yang secara sharih (jelas) menyebutkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم dulu berpuasa pada hari ke-9 Dzulhijjah sebagaimana riwayat Imam Abu Dawud, Imam Ahmad, Imam An Nasai, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani, sebagian istri-istri Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم menyampaikan : dulu Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم berpuasa pada hari kesembilan (ke-9) bulan Dzulhijjah, puasa hari Asyura, puasa tiga hari setiap bulan qamariyah, puasa Senin pertama di setiap bulan qamariyah, dan puasa Kamis.

وجه الدلالة من الحديث : أن زوج النبي صلى الله عليه وسلم ذكرت أنه صلى الله عليه وسلم كان يصوم يوم تسع ذي الحجة ، وهذا بلا ريب كان قبل حجة الوداع ، ولفظ ( كان ) يدل على الاستمرار  ، ولم يبلغنا عنه أنه صلى الله عليه وسلم كان يتحرى وقفة الناس بعرفة

Wajhud dalalah alias sisi pendalilan dari hadits ini : sesungguhnya istri Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم telah menyampaikan bahwa dulu Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم berpuasa pada hari kesembilan (ke-9) bulan Dzulhijjah, tanpa ada keraguan ini terjadi sebelum peristiwa haji Wada, sementara lafazh kaana ( كان ) menunjukkan bahwa ini adalah amalan yang dikerjakan Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم secara terus-menerus dan tidak ada riwayat yang sampai kepada kita bahwa Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم menyelidiki dan meninjau aktifitas wukuf di Arafah ketika itu.

Argumentasi terakhir :

 قد يحتج لهذا القول بظاهر قول عائشة رضي الله تعالى عنها وذلك فيما رواه عبد الرزاق في " مصنفه " ( 4 / 157 ) عن مسروق : أنه دخل هو ورجل معه على عائشة يوم عرفة ، فقالت عائشة : يا جارية ! خوضي لهما سويقا وحلية فلولا أني صائمة لذقته ، قالا : أتصومين يا أم المؤمنين ! ولا تدرين لعله يوم يوم النحر ، فقالت : إنما النحر إذا نحر الإمام ، وعظم الناس ، والفطر إذا أفطر الإمام وعظم الناس  " ، وفي رواية البيهقي في " السنن الكبرى " ( 4 / 252 ) : ( النحر يوم ينحر الناس ، و الفطر يوم يفطر الناس  وجود إسناده الشيخ الألباني في " السلسة الصحيحة " ( 1 / 389 )

Terkadang juga pendapat ini didasarkan pada zhahir pernyataan Aisyah –semoga Allah meridhainya- yang diriwayatkan Imam Abdurrazaq dalam kitab Mushannafnya, dari Masruq : sesungguhnya dia bersama seorang laki-laki mengunjungi Aisyah pada hari Arafah, Aisyah berkata wahai budak perempuan! ambilkan tepung dan manisan untuk mereka berdua, seandainya saya tidak berpuasa maka pasti saya mencicipinya, masruq dan laki-laki tersebut bertanya : apakah engkau berpuasa wahai ummul mukminin! tidakkah engkau mengetahui bahwa bisa jadi hari ini adalah hari Raya Idul Adha. Lalu Aisyah berkata : Idul Adha hanyalah jika Imam alias penguasa dan mayoritas manusia melakukan udhiyah penyembelihan hewan qurban serta Idul Fitri adalah jika Imam alias penguasa dan mayoritas manusia tidak berpuasa, satu riwayat Imam Al Baihaqi dalam kitab Sunan Al Kubro : Idul Adha adalah hari ketika umat menyembelih hewan qurban dan Idul Fitri adalah hari ketika umat tidak berpuasa alias telah ber-Idul Fithri. Syaikh Albani menilai sanadnya baik.

Dari zhahir ucapan ibunda Aisyah diatas dapat dipahami bahwa tidak teranggap & tidak ditengok keragu-raguan (الشك) dalam menentukan hari Arafah dan tidak pula dipertimbangkan kekhawatiran bahwa saat itu adalah hari Raya Idul Adha karena yang teranggap Idul Adha hanyalah jika Imam alias penguasa dan mayoritas manusia melakukan udhiyah penyembelihan hewan qurban serta Idul Fitri adalah jika Imam alias penguasa dan mayoritas manusia sudah tidak lagi berpuasa (sudah masuk bulan Syawal).

Demikianlah beberapa argumentasi dan dalil dari pendapat kedua ini yang tentu saja berbeda dengan pendapat pertama. 

Sebagaimana sudah penulis sampaikan di awal, penulis mengambil pendapat pertama yang menyatakan bahwa hari Arafah adalah hari ketika para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah dan sesungguhnya kaum muslimin mengikuti waktu wukuf  jamaah haji di Arafah dalam penentuan hari Arafah, serta keputusan Idul Adha ini ditentukan oleh Amir Makkah. Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa ibadah haji dan udhiyah penyembelihan hewan qurban sangat berkaitan dengan syiar kaum muslimin. Semestinya tentu kaum muslimin bersatu dalam berhari raya baik Idul Fitri maupun juga Idul Adha. Namun demikian tentu kita juga tidak boleh menutup mata bahwa para alim ulama berbeda pandangan terkait bahasan ini alias terdapat khilafiyah fiqhiyyah yang cukup berseberangan. 

Semoga Allah memudahkan kaum muslimin dalam menjalankan amal-amal ketaatan dan semoga Allah menjaga serta menyatukan kaum muslimin.

و الله تعالى أعلم بالصواب