Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adzan Shubuh Sudah Berkumandang, Masih Boleh Makan Dan Minum, Benarkah?





Yurifa Iqbal

Dalam suatu artikel keislaman disebutkan secara garis besar bahwa waktu sahur itu memanjang hingga akhir adzan Shubuh. Maka jika adzan Shubuh masih berkumandang, sahur masih boleh, makan dan minum masih boleh, tidak haram, dan tidak wajib pula qadha`. Benarkah pendapat seperti ini?

Tulisan ringkas ini akan sedikit menguraikannya baik ditinjau dari sisi pendapat Fuqaha 4 madzhab wabil khusus Fuqaha Syafiiyah, syarah hadits, dan sedikit Ushul Fiqh, serta bolehkah pendapat yang membolehkan makan dan minum ketika adzan shubuh tersebut diikuti.

Pertama-tama kita perlu mengetahui bahwa para fuqaha telah ijma akan waktu yang wajib berpuasa. Di dalam kitab التمهيد juz 10 halaman 62 Imam Ibn Abdil Barr menjelaskan :

والنَّهارُ الذي يجِبُ صيامُه: من طلوعِ الفَجرِ إلى غروبِ الشَّمسِ، على هذا إجماعُ عُلَماءِ المُسلمينَ، فلا وَجْهَ للكلامِ فيه

waktu siang yang diwajibkan puasa atas seorang Muslim adalah dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, ini adalah ijma (konsensus, kesepakatan) ulama kaum muslimin tidak ada perspektif lain dalam pembahasan ini.

Kemudian di dalam kitab ملخص فقه الصوم من الموسوعة الفقهية halaman 4 disampaikan :

يلزم الصائم الإمساك عن المفطرات من دخول الفجر الثاني، و ذهب إلى هذا عامة أهل العلم، و حكى ابن عبد البر الإجماع على ذلك

seorang yang berpuasa wajib menahan diri dari berbagai pembatal-pembatal puasa dari mulai terbitnya fajar yang kedua (fajar shadiq), ini adalah pendapat umumnya ahli ilmu dan Imam Ibn Abdil Barr menyatakan ijma (konsensus, kesepakatan) terkait hal ini.

Jadi kita ketahui bahwa mulainya waktu imsak ini adalah ditandai dengan terbitnya fajar yang kedua alias fajar shadiq.

Kemudian masih di kitab dan halaman yang sama disampaikan :

من طلع عليه الفجر و في فمه طعام، فعليه أن يلفظه و يتم صومه، فإن ابتلعه بطل صومه، و هذا باتفاق المذاهب الفقهية الأربعة : الحنفية، و المالكية، و الشافعية، و الحنابلة

siapa saja yang ketika terbit fajar kedua dan di mulutnya ada makanan maka wajib atasnya mengeluarkan makanan tersebut dari mulutnya dan dia sempurnakan melaksanakan puasanya, adapun jika dia menelan makanan tersebut maka batal puasanya, dan ini adalah kesepakatan 4 madzhab Fiqih : Al Hanafiyah, Al Malikiyah, Asy Syafiiyah, dan Al Hanabilah.

Senada dengan kitab diatas, di dalam kitab الموسوعة الفقهية الكويتية juz 28 halaman 67 juga disampaikan :

واتفق الفقهاء على أنه إذا طلع الفجر وفي فيه طعام أو شراب فليلفظه ، ويصح صومه . فإن ابتلعه أفطر

terdapat kesesuaian pendapat diantara para fuqaha (ahli fiqih) bahwa jika telah terbit fajar kedua sedangkan di mulutnya ada makanan atau air minuman, maka dia harus mengeluarkan atau membuangnya, dan hukum puasanya sah, apabila dia menelan makanan atau minuman tersebut maka puasanya batal.

Jadi dari beberapa kutipan ini kita pahami bahwa jika fajar kedua alias fajar shadiq sudah terbit dimana para muadzin mengumandangkan adzan subuh sedangkan ada makanan atau minuman di mulutnya, maka dia tidak boleh menelan makanan atau minuman tersebut, jika dia telan maka puasanya batal dan tentu saja wajib qadha atasnya, bahkan ini adalah pendapat empat madzhab Al Hanafiyah, Al Malikiyah, Asy Syafiiyah, dan Al Hanabilah! 

Lalu bagaimana dengan hadits yang menerangkan silakan tetap makan jika masih mendengarkan adzan? Bagaimana penjelasannya? Mari kita lihat penjelasan Imam An Nawawi muhaddits (ahli hadits) sekaligus fuqaha madzhab Syafiiyah.

Imam An Nawawi menjelaskan di dalam kitab المجموع شرح المهذب juz 5 halaman 465-466 cetakan Ad Dar Al Alamiyah :

ذكرنا أن من طلع الفجر وفي فيه (فمه) طعام فليلفظه ويتم صومه , فإن ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه , وهذا لا خلاف فيه , ودليله حديث ابن عمر وعائشة رضي الله عنهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا 
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ) رواه البخاري ومسلم , وفي الصحيح أحاديث بمعناه

telah kami sebutkan bahwa sesungguhnya siapa saja yang ada makanan di mulutnya ketika terbit fajar kedua maka dia harus mengeluarkan makanan tersebut dari mulutnya dan menyempurnakan pelaksanaan puasanya, jika dia menelan makanan tersebut setelah mengetahui bahwa fajar kedua telah terbit puasanya batal, tidak ada perbedaan pendapat terkait hal ini, dalilnya adalah hadits ibnu umar dan aisyah -semoga Allah meridhoi mereka- sesungguhnya Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda : sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam, maka silakan makan dan minum sampai Abdullah bin Umi Maktum mengumandangkan adzan dan tidak lagi boleh makan minum. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, ada hadits-hadits shahih lain yang semakna dengan redaksi ini.

وأما حديث أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ) وفي رواية : ( وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر ) فروى الحاكم أبو عبد الله الرواية الأولى , وقال : هذا صحيح على شرط مسلم , ورواهما البيهقي ، ثم قال : وهذا إن صح محمول عند عوام أهل العلم على أنه صلى الله عليه وسلم علم أنه ينادي قبل طلوع الفجر بحيث يقع شربه قبيل طلوع الفجر . قال : وقوله : ( إذا بزغ ) يحتمل أن يكون من كلام من دون أبي هريرة ، أو يكون خبراً عن الأذان الثاني , ويكون قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ) خبراً عن النداء الأول ، ليكون موافقا لحديث ابن عمر وعائشة رضي الله عنهم . قال : وعلى هذا تتفق الأخبار . وبالله التوفيق , والله أعلم

Dan adapun hadits Abu Hurairah -semoga Allah meridhoinya- dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesungguhnya dia bersabda : jika salah seorang diantara kalian mendengar adzan sedangkan cangkir ada di tangannya maka jangan diletakkan cangkir tersebut sampai hajat tertunaikan dengan meminumnya. Dalam riwayat yang lain disampaikan : seorang muadzin mengumandangkan adzan jika waktu fajar telah muncul, maka Al Hakim Abu Abdillah telah meriwayatkan riwayat yang pertama dan dia menyatakan hadits shahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim, dan Imam Al Baihaqi telah meriwayatkan dua riwayat hadits tersebut kemudian dia berkata jika khabar tersebut shahih maka menurut umumnya ahli ilmu dimaknai bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengetahui bahwa muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar shadiq yang kedua dimana aktivitas minum dilakukan tepat sebelum terbitnya fajar, adapun ungkapan jika waktu fajar telah muncul ada kemungkinan pernyataan tersebut bukan berasal dari Abu Hurairah atau bisa jadi informasi terkait adzan kedua, maka perkataan Rasulullah صلى الله عليه وسلم (jika salah seorang diantara kalian mendengar adzan sedangkan cangkir ada di tangannya) itu adalah informasi terkait adzan pertama agar sesuai dan tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Umar serta Aisyah -semoga Allah meridhoi mereka- sebelumnya, maka dari itu terjadilah keselarasan di antara hadits-hadits tersebut. Allah yang memberi taufiq dan Allah yang Maha Mengetahui.

Jadi, menurut keterangan Imam Al Baihaqi yang dikutip oleh Imam Nawawi tersebut, hadits jika salah seorang diantara kalian mendengar adzan sedangkan cangkir ada di tangannya maka jangan diletakkan cangkir tersebut sampai hajat tertunaikan dengan meminumnya ini adalah untuk adzan yang pertama, bukan adzan kedua yang menginformasikan masuknya waktu shalat shubuh dan berakhirnya waktu sahur.

Kemudian di dalam kitab فقه الصيام karya Syaikh Doktor Muhammad Hasan Hitou, pakar Fiqih dan Ushul Fiqh dari Suriah pada halaman 53 menjelaskan untuk memperjelas pemahaman terkait hadits sebelumnya :

و روى النسائي عن أنيسة بنت حبيب الأنصارية رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا أذن ابن أم مكتوم فلا تأكلوا و لا تشربوا، و إذا أذن بلال فكلوا و اشربوا

Imam An Nasai meriwayatkan hadits dari Anisah binti Habib Al Anshariyah -semoga Allah meridhainya- berkata : Rasulullaah Muhammad صلى الله عليه و سلم bersabda : jika Ibnu Umi Maktum mengumandangkan adzan maka janganlah kalian makan dan minum, dan jika Bilal yang mengumandangkan adzan maka silakan tetap makan dan minum

فهذه الأحاديث كلها صحيحة صريحة في وجوب الامتناع عن الطعام بسماع النداء للصلاة، فإذا سمع الصائم الأذان، وجب عليه أن يترك طعامه و شرابه، فإن استمر في طعامه فهو مفطر، و يلزمه ما يلزم المفطر من الأحكام التي سنذكرها إن شاء الله

Maka seluruh hadits-hadits ini (Syaikh Doktor Hasan Hitou banyak menukil hadits terkait pembahasan ini) statusnya shahih lagi jelas akan wajibnya menahan diri dari makan ketika mendengar adzan shalat shubuh, maka jika seorang yang berpuasa telah mendengar adzan tersebut, wajib atasnya meninggalkan aktivitas makan dan minum, adapun jika dia meneruskan aktivitas makan dan minum tersebut maka puasanya batal dan tidak teranggap berpuasa, dia terikat dengan hukum-hukum orang yang tidak teranggap berpuasa yang in syaa Allah akan dijelaskan.

و إن كان في فمه لقمة طعام، فإنه لا يجوز له أن يبتلعها، أو جرعة ماء فإنه لا يجوز له أن يسيغها، بل يجب عليه أن يقذفها، و إلا اعتبر مفطرا، فليتنبه المسلمون لهذا، و ليحرصوا عليه

dan jika di mulutnya terdapat sesuap makanan, dia tidak boleh menelannya atau terdapat seteguk air juga tidak diperbolehkan menelannya, bahkan wajib atasnya mengeluarkan makanan atau minuman tersebut, jika dia menelannya maka puasanya batal dan tidak teranggap, maka kaum muslimin harus memperhatikan hal ini serta bersemangat untuk memahaminya.

Semakin memperjelas apa yang telah disampaikan sebelumnya.

Kemudian di dalam kitab Syafi'iyyah kontemporer lainnya yang sangat banyak dirujuk dan disampaikan baik dalam kajian, ceramah, maupun  tulisan yaitu keterangan yang ada di dalam kitab التقريرات السديدة في المسائل المفيدة juz 1 halaman 485 cetakan Dar Al Ulum Al Islamiyah disampaikan :

من الخطأ الفاحش الواقع فيه كثير من الناس : أنهم عندما يسمعون أذان الفجر يتبادرون إلى الشرب اعتقادا منهم جواز ذلك ما دام المؤذن يؤذن ، وذلك لا يجوز ، ومن يفعله فصومه باطل ، وعليه القضاء إن كان صومه فرضا ؛ لأن المؤذن لا يشرع في الأذان إلا بعد طلوع الفجر ، فإذا شرب أثناء الأذان فيكون قد شرب في وقت الفجر ، وكل ذلك بسبب الجهل ، ولم يقل بذلك أحد من الأئمة المعتبرین

diantara kesalahan fatal yang terjadi pada kebanyakan kaum muslimin adalah : mereka ketika mendengar adzan shalat subuh bersegera untuk minum karena meyakini bolehnya hal yang demikian selama muadzin mengumandangkan adzan, hal yang demikian ini tidak boleh, siapa saja yang melakukannya maka puasanya batal dan wajib atasnya qadha puasa jika puasanya adalah puasa fardhu, karena sesungguhnya muadzin tidaklah mulai mengumandangkan adzan kecuali setelah terbitnya fajar kedua alias fajar shadiq, maka jika ada yang minum ketika adzan subuh dikumandangkan maka sesungguhnya dia minum di waktu shubuh, semua ini terjadi karena kejahilan alias kebodohan, tidak ada satupun Imam mu'tabar yang diakui keilmuannya berpendapat bolehnya makan minum ketika adzan subuh masih dikumandangkan.

Maka dari kutipan kitab التقريرات السديدة في المسائل المفيدة juz 1 halaman 485 ini dapat kita pahami dengan sangat jelas bahwa siapa saja yang masih makan atau minum selama muadzin masih mengumandangkan adzan shalat shubuh maka puasanya batal dan wajib atasnya qadha puasa jika puasanya adalah puasa fardhu, yang demikian karena sesungguhnya muadzin tidaklah mulai mengumandangkan adzan kecuali setelah terbitnya fajar kedua alias fajar shadiq, hal yang demikian ini juga tidak diperbolehkan.

Lalu bagaimana jika ada ulama yang mempunyai pendapat jika adzan subuh masih dikumandangkan, sahur masih boleh, makan dan minum masih boleh, tidak haram, tidak wajib qadha.

Maka ketahuilah bahwa tidak boleh bertaqlid kepada ulama tersebut.

Di dalam kitab الخلاف أنواعه و ضوابطه و كيفية التعامل معه halaman 216 ketika membahas kekeliruan dan ketergelinciran ulama, terdapat kutipan sebagai berikut :

لا يجوز تقليد العالم في زلته التي زل فيها كما إنه يجب التحذير منها، و بيان أنها زلة و هفوة و غلط، و لذا يقول الأوزاعي رحمه الله : نجتنب من قول أهل العراق خمسا، و من قول أهل الحجاز خمسا، من قول أهل العراق : شرب المسكر، و الأكل في الفجر في رمضان، ولا جمعة إلا في سبعة أمصار

tidak diperbolehkan taqlid mengikuti seorang alim ulama yang tergelincir sehingga pendapatnya salah/keliru, sebagaimana wajib untuk memperingatkan umat dari kekeliruannya dan menjelaskan bahwa pendapat tersebut keliru, salah, dan tidak benar, oleh sebab itu Imam Al Auzai -semoga Allah merahmatinya- berkata : kita menjauhi 5 pendapat ulama Iraq dan kita juga menjauhi 5 pendapat ulama Hijaz, diantara pendapat ulama Iraq yang dijauhi : meminum minuman yang memabukkan, makan di waktu fajar (adzan subuh) bulan Ramadhan, tidak ada shalat Jumat kecuali hanya di 7 negeri....

Nah, ternyata sudah ada ulama terdahulu yang berpendapat bolehnya makan ketika fajar (adzan subuh) bulan Ramadhan. Dan tentu saja sebagaimana kutipan tersebut, tidak diperbolehkan taqlid mengikuti seorang alim ulama yang tergelincir dalam kekeliruan dan kesalahan, pun juga wajib memperingatkan umat darinya, serta menjelaskan bahwa pendapat tersebut keliru, salah, dan tidak benar.

Dalam kitab مختصر الفوائد المكية فيما يحتاجه طلبة الشافعية halaman 60 terdapat kutipan :

و ما جاء عن الأعمش من جواز الأكل في رمضان بعد الفجر و قبل طلوع الشمس و غير ذلك من مذاهب المجتهدين الشاذة التي كاد الإجماع أن ينعقد على خلافه، فهذه كلها لا يجوز تقليد أربابها

dan pendapat yang bersumber dari Al A'masy berupa bolehnya makan di bulan Ramadhan setelah fajar dan sebelum terbitnya matahari, dan pendapat-pendapat syadz (aneh dan ganjil) lainnya dari para Mujtahid yang mana hampir-hampir berlaku ijma (konsesus, kesepakatan) yang menyelisihi pendapat-pendapat syadz tersebut, semua pendapat-pendapat syadz tersebut tidak boleh diikuti.

Jelas dari dua kutipan teks kitab tersebut diatas bahwa sesungguhnya tidak diperbolehkan taqlid mengikuti pendapat-pendapat syadz (aneh dan ganjil) seorang alim, termasuk diantaranya adalah pendapat masih boleh makan dan minum di waktu fajar (adzan subuh) masih dikumandangkan.

Terakhir, ditinjau dari bahasan Ushul Fiqh, di dalam kitab الشارح في أصول الفقه ketika pembahasan jenis-jenis mafhum mukhalafah, dimana diantara jenis mafhum mukhalafah adalah mafhum ghayah (مفهوم الغاية)

Di dalam kitab الشارح في أصول الفقه halaman 174 disampaikan terkait tathbiq mafhum mukhalafah jenis mafhum ghayah ini. Allah berfirman dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 187

وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ

dan makan minumlah kalian hingga tampak jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu berupa fajar.

Mafhum mukhalafah : 

إذا تبين الخيط الأبيض من الخيط الأسود فلا تأكلوا

jika sudah jelas benang putih dari benang hitam maka janganlah kalian makan, berhentilah makan!

أي لا يباح للصائم الأكل متى بدأ الفجر

yakni tidak diperbolehkan makan bagi orang yang berpuasa ketika sudah terbit fajar shubuh.

Walhasil dari berbagai keterangan dan kutipan kitab-kitab tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika adzan shubuh sudah dikumandangkan oleh muadzin, maka tidak diperbolehkan makan dan minum, siapa saja yang masih tetap makan minum ketika adzan shubuh dikumandangkan maka puasanya batal dan wajib atasnya menahan diri dari berbagai pembatal puasa serta wajib pula atasnya mengqadha puasa tersebut.

Demikian pembahasan ringkas terkait hal ini, semoga bermanfaat, dan semoga Allah mudahkan kita dalam melakukan amal-amal ketaatan.

و الله تعالى أعلم بالصواب