Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Bersalaman Antara Pria dan Wanita Non Mahram Menurut Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy


Yurifa Iqbal

Tema ini adalah tema yang cukup sering dibahas dan diperdebatkan, tulisan ringkas ini akan coba mengkomparasikan pendapat ulama 4 madzhab dengan pendapat Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy. Tulisan singkat ini juga akan mencoba untuk menjelaskan istidlal Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy serta kesimpulannya. Benarkah Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy membolehkan bersalaman antara pria dan wanita non mahram secara muthlaq? atau ada syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi?

Sebelum kita melihat pendapat Syaikh Yusuf Al Qardhawiy, ada baiknya kita menyimak secara ringkas penjelasan Fuqaha 4 madzhab terkait bahasan ini. Dalam kitab الموسوعة الفقهية الكويتية juz 37 halaman 359 disampaikan :

وأما المصافحة التي تقع بين الرجل والمرأة من غير المحارم فقد اختلف قول الفقهاء في حكمها وفرقوا بين مصافحة العجائز ومصافحة غيرهم

Adapun bersalaman antara pria dan wanita bukan mahram ini maka para Fuqaha berbeda pendapat terkait hukumnya serta mereka membedakan antara bersalaman dengan lanjut usia dan bersalaman selain dengan lanjut usia.

فمصافحة الرجل للمرأة العجوز التي لا تشتهي ولا تشتهى، وكذلك مصافحة المرأة للرجل العجوز الذي لا يشتهي ولا يشتهى، ومصافحة الرجل العجوز للمرأة العجوز، جائز عند الحنفية والحنابلة ما دامت الشهوة مأمونة من كلا الطرفين، واستدلوا بما روي أن رسول الله ﷺ: كان يصافح العجائز، ولأن الحرمة لخوف الفتنة، فإذا كان أحد المتصافحين ممن لا يشتهي ولا يشتهى فخوف الفتنة معدوم أو نادر

Maka laki-laki yang bersalaman dengan wanita lansia yang tidak lagi memiliki syahwat dan tidak juga disyahwati demikian pula wanita bersalaman dengan pria lansia yang tidak lagi memilki syahwat dan tidak juga disyahwati serta bersalaman antara pria dan wanita yang sama-sama lansia hukumnya boleh menurut madzhab Al Hanafiyah dan Al Hanabilah dengan syarat kedua pihak yang disebut tadi aman dari fitnah. Mereka beristidlal bahwa Rasulullaah bersalaman dengan wanita lansia dan juga keharaman tersebut karena dikhawatirkan timbul fitnah, maka jika salah satu pihak yang bersalaman adalah orang yang tidak memilki syahwat lagi dan tidak disyahwati maka tentu tidak akan dikhawatirkan timbul fitnah atau jarang ada fitnah.

ونص المالكية على تحريم مصافحة المرأة الأجنبية وإن كانت متجالة، وهي العجوز الفانية التي لا إرب للرجال فيها، أخذا بعموم الأدلة المثبتة للتحريم

Adapun madzhab Al Malikiyah menetapkan haram hukumnya pria bersalaman dengan wanita ajnabiyah (asing) meskipun mutajaallah yaitu wanita lansia yang dalam dirinya tidak memilki ketertarikan atau syahwat kepada pria didasarkan pada keumuman dalil-dalil yang mengharamkannya.

وعمم الشافعية القول بتحريم لمس المرأة الأجنبية ولم يستثنوا العجوز، فدل ذلك على اعتبارهم التحريم في حق مصافحتها، وعدم التفرقة بينها وبين الشابة في ذلك

Dan madzhab Asy Syafiiyah secara umum mengharamkan menyentuh wanita ajnabiyah (asing) dan Asy Syafiiyah tidak mengecualikan wanita lansia, dimana dalam pandangan Asy Syafiyyah hukumnya haram bersalaman dengan wanita lansia serta tidak ada perbedaan hukum antara wanita lansia dan wanita muda (pemudi).

وأما مصافحة الرجل للمرأة الأجنبية الشابة فقد ذهب الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة في الرواية المختارة، وابن تيمية إلى تحريمها، وقيد الحنفية التحريم بأن تكون الشابة مشتهاة، وقال الحنابلة: وسواء أكانت من وراء حائل كثوب ونحوه أم لا

Adapun pria bersalaman dengan wanita ajnabiyah (asing) yang masih muda/wanita muda, maka menurut madzhab Al Hanafiyah, Al Malikiyah, Asy Syafiiyah, Al Hanabilah dalam satu riwayat yang terpilih, dan juga Imam Ibnu Taimiyah hukumnya adalah HARAM, dan Al Hanafiyah membatasi keharamannya jika wanita muda tersebut mendatangkan syahwat (disyahwati), dan menurut Al Hanabilah baik bersalaman memakai penghalang seperti kain ataupun tanpa penghalang maka hukumnya tetap haram.

Lalu bagaimana pandangan Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy terkait tema ini? Dalam kitab فتاوى المرأة المسلمة dari halaman 50-64 karya Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy menjelaskan hal ini. Sejauh yang beliau ketahui, ada dua pembahasan yang tidak ada perselisihan di antara para Fuqaha Mutaqaddimin terkait tema ini, yaitu :

الأولى: تحريم المصافحة للمرأة إذا اقترنت بها الشهوة والتلذذ الجنسي من أحد الطرفين: الرجل أو المرأة، أو خيفت فتنة من وراء ذلك في غالب الظن، وذلك أن سد الذريعة إلى الفساد واجب، ولاسيما إذا لاحت علاماته، وتهيأت أسبابه

Pertama : Haram hukumnya bersalaman dengan wanita jika disertai syahwat serta timbul kenikmatan fisik dari salah satu pihak yang bersalaman entah itu pria atau wanita, atau dikhawatirkan timbul fitnah berdasarkan dugaan kuatnya, hal tersebut untuk menutup celah atau wasilah yang akan menghantarkan pada kerusakan yang tentu saja menutup ini hukumnya adalah wajib apalagi jika muncul tanda-tandanya serta tersedia sebab-sebabnya.

الثانية: الترخيص في مصافحة المرأة العجوز التي لا تشتهى، ومثلها البنت الصغيرة التي لا تشتهى؛ للأمن من أسباب الفتنة، وكذلك إذا كان المصافح شيخًا كبيرًا لا يشتهي

Kedua : Ada keringanan bersalaman dengan wanita lansia yang sudah tidak disyahwati lagi, serta anak perempuan yang masih kecil yang tidak disyahwati karena tidak ada kekhawatiran munculnya fitnah, pun demikian jika yang menyalami adalah laki-laki lansia yang sudah tidak memiliki syahwat lagi, maka mereka semua tercakup dalam keringanan ini.

Lalu beliau menyampaikan :

وما عدا هاتين الصورتين، فهو محل الكلام ،وموضع البحث والحاجة إلى التمحيص والتحقيق

Selain dua hal ini maka itulah yang dijadikan topik pembicaraan, serta pembahasan, dan memerlukan penelitian.

Beliau kemudian mempertanyakan apa dalil ulama yang mengharamkan bersalaman jika tidak ada syahwat? Memang dalil terkuatnya adalah menutup celah atau wasilah yang akan menghantarkan kepada fitnah. Dalil ini tentu saja diterima tanpa ada keraguan jika muncul syahwat atau khawatir akan terjadi fitnah jika terlihat tanda-tandanya. Akan tetapi ketika aman dari syahwat dan fitnah, dari sisi mana letak keharaman bersalaman pria dan wanita non mahram?

Sebagian ulama berdalil bahwa Rasulullaah tidak bersalaman dengan wanita ajnabiyah ketika baiat sebagaimana dalam surat Al Mumtahanah. Akan tetapi sudah maklum bahwa ketika Rasulullaah tidak melakukan suatu perbuatan maka tidak serta merta menunjukkan keharaman, karena bisa jadi ketika tidak dilakukan karena itu perkara haram, bisa jadi makruh, bisa jadi khilaful aula, serta bisa jadi karena Rasulullaah semata-mata memang tidak ada kecenderungan melakukannya contohnya ketika Rasulullaah tidak mau memakan dhab padahal itu mubah. Dengan demikian tidak bersalamannya Rasulullaah dengan wanita ketika baiat tidak bisa dijadikan dalil bahwa bersalaman pria wanita non mahram hukumnya haram.

Rasulullaah tidak bersalaman dengan wanita pada peristiwa baiat sendiri diperselisihkan oleh ulama. Hadits Ummu Athiyah memberikan informasi bahwa Rasulullaah bersalaman dengan wanita ketika baiat yang berbeda dengan Hadits Ummul Mukminin Aisyah dimana Aisyah mengingkari bahwa Rasulullaah pernah bersalaman dengan wanita dan bersumpah bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi.  Pada titik ini dan karena ada beberapa kemungkinan maka kemudian kemungkinan yang paling kuat menurut Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy adalah bahwa hadits Aisyah membicarakan baiat wanita mukminah yang berhijrah setelah perjanjian Hudaibiyah, adapun hadits Ummu Athiyah maka yang paling mungkin hadits tersebut membicarakan yang lebih umum lagi dan meliputi baiat wanita-wanita mukminah dengan sifat yang umum. Oleh sebab itulah beliau menyampaikan bahwa ulama yang menyandarkan keharaman bersalaman pria wanita non mahram karena Rasulullaah tidak bersalaman dengan wanita ajnabiyah ketika baiat bukanlah perkara yang disepakati.

Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa haram hukumnya bersalaman antara pria wanita non mahram didasarkan pada hadits Rasulullaah yang dikeluarkan Imam Thabaraniy dan Imam Al Baihaqy berikut :

لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير من أن يمس امرأة لا تحل له

Kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi jelas lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.

Tepatkah beristidlal dengan hadits ini? Maka, menurut Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy, disini ada beberapa catatan :

1. Para ulama hadits tidak secara tegas menyatakan keshahihan hadits tersebut karena hadits ini masih mengandung kemungkinan sanadnya terputus atau ‘illat yang tersamar yang mencederainya, maka dari itu para Fuqaha di generasi awal tidak beristidlal menggunakan hadits ini untuk menjelaskan keharaman bersalaman pria wanita non mahram.

2. Fuqaha Al Hanafiyah dan sebagian fuqaha Al Malikiyah berpendapat bahwa suatu keharaman tidak ditetapkan kecuali dengan dalil qath’i (Al Quran, Hadits Mutawatir, Hadits Masyhur) yang tidak ada syubhat di dalamnya. Adapun jika syubhat maka paling maksimal hukumnya adalah makruh.

3. Jika diasumsikan hadits tersebut adalah hadits shahih, maka makna lafazh hadits yang dijadikan istidlal hukum untuk pembahasan ini kurang jelas dimana frase menyentuh wanita yang tidak halal baginya tidak semata sentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat. Kata المس dalam Al Quran dan As Sunnah digunakan untuk dua hal yakni :

a)   a) Lafazh kinayah (kiasan) untuk jimak sebagaimana Tafsir Ibnu Abbas untuk ayat أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء (atau kalian telah menyentuh wanita) dimana Ibnu Abbas memaknai al lams,al mulamasah, al mass dalam Al Quran adalah kinayah dari jimak.

b)    b) Selain jimak berupa ciuman, pelukan, persentuhan kulit antara suami istri yang merupakan pendahuluan jimak.


Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatwanya melemahkan pendapat yang menafsirkan al mulamasah dan al mass dalam ayat Al Quran semata-mata hanya persentuhan kulit dengan kulit meskipun tanpa syahwat!


Sedangkan jika kita memperhatikan nukilan shahih yang berasal dari Rasulullaah (صحيح المنقول عن رسول الله صلى الله عليه وسلم) akan kita dapati bahwa sekedar sentuhan tangan antara pria wanita non mahram tanpa ada syahwat serta tanpa khawatir adanya fitnah tidak terlarang, bahkan Rasulullaah pun melakukannya! Padahal sebagaimana yang kita ketahui, bukankah hukum asal perbuatan Rasulullaah adalah sebagai syariat dan untuk diteladani?

 

Disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik berkata :

إن كانت الأمة من إماء أهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فتنطلق به حيث شاءت

Ada budak perempuan di Madinah mengambil (memegang) tangan Rasulullaah dan budak perempuan tersebut lalu menggandengnya (menarik) kemana saja yang dia kehendaki.

 

Dan dalam riwayat Imam Ahmad juga masih dari Anas, dia berkata :

 إن كانت الوليدة يعني الأمة من ولائد أهل المدينة لتجئ، فتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فما ينزع يده من يدها حتى تذهب به حيث شاءت

Ada budak perempuan dari budak-budak perempuan yang tinggal di Madinah datang kemudian mengambil (memegang) tangan Rasulullaah , dan tidaklah Rasulullaah melepas tangannya dari tangan budak wanita tersebut sampai budak wanita ini menggandengnya (menarik) kemana saja yang dia kehendaki.

 

Ketika mensyarah hadits riwayat Imam Bukhari tersebut,  Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Atsqalaniy memalingkan dari makna zhahir ke makna lazimnya yaitu kemurahan hati dan ketundukan. Dan makna lazim ini tidak diterima oleh Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy (ghairu mussalam) dikarenakan makna zhahir sekaligus makna lazim itulah yang dikehendaki. Dan hukum asal perkataan itu diarahkan ke makna zhahir kecuali jika ditemui qarinah atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna zhahir tersebut. Apalagi hadits riwayat Imam Ahmad : فما ينزع يده من يدها حتى تذهب به حيث شاءت (dan tidaklah Rasulullaah melepas tangannya dari tangan budak wanita tersebut sampai budak wanita ini menggandengnya/menarik kemana saja yang dia kehendaki) menunjukkan dengan jelas bahwa makna zhahir lah yang dikehendaki sehingga jika keluar dari makna zhahir merupakan suatu takalluf (membuat-buat).

 

Dan dalil terkuat dalam pandangan Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy mengenai persentuhan kulit antara Rasulullaah dengan wanita adalah ketika Rasulullaah tidur dan meletakkan kepalanya di pangkuan Ummu Harom binti Milhan istri Ubadah bin Shomat dan Ummu Harom binti Milhan mencari kutu yang ada di kepala Rasulullaah (أم حرام بنت ملحـان زوج عبـادة بن الصامت، ونام عندها، واضعًا رأسه في حجرها وجعلت تفلي رأسه). Imam Ibnu Abdil Barr menyatakan bahwa antara Ummu Harom dan Rasulullaah adalah mahram sehingga bisa melakukan apa-apa yang dibolehkan karena kemahraman. Ada juga yang menyatakan bahwa Rasulullaah maksum dan hal ini adalah diantara kekhususannya. Meskipun terkait kekhususan untuk Rasulullaah ini dibantah oleh Al Qadhiy Iyadh yang menyatakan bahwa kekhususan untuk Rasulullaah tidak bisa ditetapkan jika ada ihtimal (kemungkinan-kemungkinan). Terkait kemaksuman Rasulullaah tentu diterima, akan tetapi klaim bahwa itu adalah kekhususan Rasulullaah haruslah disertai dalil. Meskipun demikian Al ‘Allaamah Ad Dimyathi juga menyatakan bahwa dalam hadits tersebut tidak terdapat tanda bahwa Rasulullaah berdua-an dengan Ummu Harom dimana bisa jadi disana ada anak, atau pelayan, atau suami, atau pembantu. Yang menarik adalah pernyataan Al ‘Allaamah Ibnu Hajar yang menyatakan bahwa kemungkinan ini kuat, akan tetapi tidak menghilangkan fakta bahwasanya terjadi persentuhan kulit antara Ummu Harom dengan Rasulullaah ketika Ummu Harom mencari kutu yang ada di kepala Rasulullaah demikian juga tidurnya Rasulullaah di pangkuan Ummu Harom. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata : وأحسن الأجوبة دعوى الخصوصية، ولا يردها كونها لا تثبت إلا بدليل لأن الدليل على ذلك واضح (jawaban terbaik untuk klaim hadits ini adalah hal tersebut merupakan kekhususan untuk Rasulullaah , dan tidak bisa dinafikan bahwa kekhususan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil padahal sungguh dalilnya sudah jelas).

 

Oleh sebab itulah karena berbagai riwayat-riwayat ini, Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy  berpendapat bahwa sesungguhnya sekedar persentuhan kulit antara pria wanita non mahram tidaklah haram, jika memang ada sebab seperti pertemuan dan dua pihak pria wanita non mahram yang bersalaman aman dari fitnah, maka hukumnya boleh bersalaman pria wanita non mahram ketika ada kebutuhan semisal ada yang pulang dari safar, kunjungan karib kerabat (di Indonesia seperti Idul Fitri sebelum pandemi covid 19), terlebih lagi jika di antara mereka memang sudah lama tidak berjumpa.


Di akhir pembahasan ini Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy menyimpulkan hukum bersalaman pria wanita non mahram adalah sebagai berikut :

 

الأول: أن المصافحة إنما تجوز عند عدم الشهوة، وأمن الفتنة، فإذا خيفت الفتنة على أحد الطرفين: أو وجدت الشهوة والتلذذ من أحدهما حرمت المصافحة بلا شك، بل لو فقد هذان الشرطان عدم الشهوة وأمن الفتنة بين الرجل ومحارمه مثل خالته، أو عمته، أو أخته من الرضاع، أو بنت امرأته، أو  زوجة أبيه، أو أم امرأته، أو غير ذلك، لكانت المصافحة حينئذ حرامًا بل لو فقد الشرطان بين الرجل وصبي أمرد، حرمت مصافحته أيضًا

Pertama : Bersalaman antara pria wanita non mahram hanya diperbolehkan jika tidak ada syahwat dan aman dari fitnah , jika dikhawatirkan ada fitnah yang menimpa salah satu pihak atau terdapat syahwat dan bernikmat-nikmat dari salah satu pihak maka hukum bersalaman haram tanpa ada keraguan, bahkan jika kedua syarat ini hilang (tidak ada syahwat dan aman dari fitnah) maka bersalaman antara pria dengan mahramnya seperti saudari perempuan ibu, atau saudari perempuan ayah, atau saudari sepersusuan, atau anak perempuan istrinya, atau istri dari ayahnya atau ibu dari istrinya, atau yang lain maka bersalaman dengan mereka pun hukumnya haram. Demikian juga jika kedua syarat ini hilang maka bersalaman antara pria dan pemuda yang belum tumbuh jenggotnya juga hukumnya haram.

 

الثاني: ينبغي الاقتصار في المصافحة على موضع الحاجة،كالأقارب والأصهار الذين بينهم خلطة وصلة قوية، ولا يحسن التوسع في ذلك، سدًا للذريعة وبعدًا عن الشبهة، وأخذًا بالأحوط، واقتداءً بالنبي ((صلى الله عليه وسلم)) الذي لم يثبت عنه أنه صافح امرأة أجنبية قط، وأفضل للمسلم المتدين، والمسلمة المتدينة ألا يبدأ أحدهما بالمصافحة ولكن إذا صوفح صافح

Kedua : Harus dibatasi bahwa bersalaman pria wanita non mahram ini diperbolehkan hanya ketika ada hajat seperti dengan karib kerabat atau hubungan kekerabatan karena pernikahan yang memiliki ikatan dan hubungan yang kuat dan tidak sepantasnya memperluas kebolehan ini untuk menutup celah dan wasilah, menjauhi syubhat, mengambil kehati-hatian, dan meneladani Rasulullaah yang mana tidak ada khabar yang fix bahwasanya Rasulullaah menyalami wanita ajnabiyah, dan yang paling utama bagi muslim dan muslimah yang baik agamanya adalah tidak memulai untuk menyalami akan tetapi jika dia disalami maka akan balik menyalami.

Demikianlah kesimpulan hukum yang disampaikan Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy terkait pembahasan ini di kitab beliauفتاوى المرأة المسلمة . Sangat terlihat bahwa beliau begitu berhati-hati dalam menyimpulkan hukum. Beliau mengutip berbagai dalil dan menyampaikan  ketentuan-ketentuan. Jadi tidak ada kebolehan mutlak boleh bersalaman antara pria dan wanita non mahram. Bahkan telah disebutkan bahwa jika ada syahwat dan ada fitnah hukumnya adalah haram!

Adapun jika seorang muslim memilih dan mengamalkan hukum yang berbeda dengan hukum yang disimpulkan oleh Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy, maka sudah selayaknya yang harus dilakukan adalah tetap saling menghormati, saling menghargai, dan tidak saling merendahkan.

و الله تعالى أعلم بالصواب

Rujukan : 1. الموسوعة الفقهية الكويتية pdf juz 37 halaman 359

                2. فتاوى المرأة المسلمة pdf halaman 50-64