Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Beli Emas Secara Angsuran atau Mewakilkan Beli Emas, Bolehkah?

Kitab

Yurifa Iqbal

Dari info yang beredar per hari Jumat (3/9/2021) tampak harga emas 24 karat Antam mengalami penurunan, sebagaimana info portal berita berikut ini :

https://market.bisnis.com/read/20210903/235/1437526/harga-emas-24-karat-antam-hari-ini-jumat-3-september-2021-turun-lagi

Tentu dengan berita seperti ini meningkatkan minat masyarakat untuk membeli emas, tidak terkecuali umat Islam, namun bisa jadi uang yang dimiliki tidak mencukupi untuk membeli emas, sehingga ada yang mengambil pilihan untuk membeli emas secara cicilan alias angsuran. 

Nah pertanyaannya, bolehkah melakukan akad jual beli emas secara angsuran?

Dalam soal jawab yang dikeluarkan دائرة الإفتاء العام, lembaga Fatwa di Yordania yang ada di link berikut ini dijelaskan sebagai berikut :

لا يجوز بيع الذهب بالأوراق النقدية إلا مع التقابض في مجلس العقد، ولا يجوز بيع أو شراء الذهب بالتقسيط؛ حذرا من الوقوع في الربا.

Tidak boleh membeli emas dengan uang kertas kecuali harus ada serah terima di majelis akad, dan tidak boleh pula melakukan akad jual beli emas secara angsuran atau cicilan karena menjaga-jaga (berhati-hati) agar tidak terjatuh ke dalam riba.

فقوله (إذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ) دليل على اشتراط التقابض في بيع الذهب بالأوراق النقدية، وعدم جواز تأخير أحد البدلين.

Sebagaimana kutipan hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم terkait yadan bi yadin (yang secara bahasa berarti dari tangan penjual ke tangan pembeli alias kontan), maka ini adalah dalil bahwa disyaratkan ada serah terima dalam pembelian emas dengan uang kertas dan tidak diperbolehkan menangguhkan atau menunda penyerahan salah satunya (menunda menyerahkan emas atau menunda menyerahkan uang kertas).

https://www.aliftaa.jo/Question2.aspx?QuestionId=3200#.YS5YrfozbIU

Jadi ketika seorang Muslim ingin membeli emas haruslah secara kontan dan emas harus diserah terimakan di majelis akad.

Mengingat salah satu syarat membeli emas adalah harus ada serah terima emas tersebut di majelis akad, bagaimana jika kita mewakilkan jual beli emas kepada saudara kita atau kepada teman kita? Bolehkah?

Dalam kitab Al Maus'uah Al Fiqhiyyah juz 45 halaman 29 disampaikan sebagai berikut :

اتفق الفقهاء على جواز التوكيل في البيع والشراء، لأن الحاجة داعية إلى التوكيل فيهما،  فقد يكون الموكل ممن لا يحسن البيع والشراء، أو لا يمكنه الخروج إلى السوق، وقد يكون له مال ولا يحسن التجارة فيه، وقد يحسنها ولكنه لا يتفرغ لذلك، وقد لا تليق به التجارة لكونه امرأة، أو ممن يتعير بها ويحط ذلك من منزلته، وأباحها الشرع دفعا للحاجة وتحصيلا لمصلحة العباد.

Para Fuqaha telah sepakat bolehnya melakukan perwakilan dalam aktivitas jual beli karena perwakilan dalam aktivitas jual beli dibutuhkan oleh umat, terkadang pihak yang mewakilkan adalah orang yang tidak cakap dalam melakukan akad jual beli, atau tidak memungkinkan keluar pergi ke pasar, terkadang pihak yang mewakilkan tersebut memiliki harta akan tetapi tidak cakap dalam melakukan transaksi bisnis, terkadang cakap dalam melakukan transaksi bisnis akan tetapi dia tidak mencurahkan tenaga, pikiran, waktu untuk hal itu, terkadang juga tidak layak melakukan suatu transaksi bisnis dikarenakan dia adalah seorang wanita, atau atau dia akan terhina dan turun derajatnya (turun statusnya) di tengah-tengah manusia jika melakukan aktivitas bisnis, maka Syariah membolehkan akad perwakilan untuk memenuhi hajat atau kebutuhan sekaligus mendapatkan kemaslahatan untuk hamba-hamba Allah.

Jadi dari keterangan diatas dapat kita pahami bahwa perwakilan dalam transaksi jual beli atau bisnis dibolehkan oleh Syariah serta para Fuqaha juga telah sepakat akan kebolehannya.

Kebolehan wakalah atau perwakilan ini juga kita jumpai misalnya dalam kitab [روضة الطالبين 4/ 325] yang merupakan salah satu kitab Fiqih Madzhab Imam Asy Syafi'i :

الوكالة هي إقامة الإنسان غيره مقام نفسه في تصرف جائز معلوم، ويكون بحدود ما يأذن به الموكل، وتصرفات الوكيل في عقد الوكالة يجب أن تكون لمصلحة الموكل؛ لأنه مؤتمن، قال الإمام النووي رحمه الله تعالى: "للوكالة حكم الأمانة، فيد الوكيل يد أمانة".

Wakalah adalah posisi atau kedudukan seseorang yang menggantikan pihak lain dalam tasharruf (tindakan) yang dibolehkan dan diketahui, dan tindakan tersebut sesuai dengan batas-batas yang diizinkan oleh pihak yang mewakilkan, dan berbagai tasharruf (tindakan) wakil dalam akad wakalah wajib memperhatikan kemaslahatan pihak yang mewakilkan karena wakil adalah pihak yang dapat dipercaya, Imam An Nawawi menyampaikan : akad wakalah sebagaimana hukum amanat, maka posisi wakil adalah amanah.

Keterangan ini juga diperkuat misalnya dalam ibarah kitab

 حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب ٤/‏١٤١ — الجمل (ت ١٢٠٤)

الموكّل ووكيله بمنزلة رجل واحد

Pihak yang mewakilkan dan wakil berada dalam kedudukan yang sama (bi manzilati rajulin waahidin).

Jadi ketika seorang mewakilkan temannya untuk membelikan emas hukumnya jaiz alias boleh karena pihak yang mewakilkan dan wakil berada dalam kedudukan yang sama. Sehingga ketika wakil membelikan emas untuk pihak yang mewakilkan tersebut potensi riba bisa dihindari.

Oh ya, bagaimana jika wakil meminta upah kepada pihak yang mewakilkan itu? Bolehkah? Berikut kutipannya dalam kitab

فقه المعاملات ١/‏١٠٥٧ — مجموعة من المؤلفين

كما تصح الوكالة بدون أجر، وهذا هو الأصل لأنها معروف وإحسان من الوكيل. كذلك يصح اشتراط الأجر للوكيل في الوكالة فتنقلب إلى إجارة وتسرى عليها أحكامها

Sebagaimana sah wakalah tanpa upah dan secara asal memang demikian karena wakalah adalah perbuatan baik dan kedermawanan dari wakil. Demikian pula sah mensyaratkan adanya upah untuk wakil dalam akad wakalah sehingga akad wakalah ini bertransformasi menjadi akad ijarah dan berlaku hukum-hukum ijarah atas akad ini.

Jadi ketika wakil ingin dibayar dengan upah ini juga boleh, menolong teman sekaligus mendapatkan uang, dimana wakalah dengan upah ini berubah menjadi akad ijarah dan berlaku pula hukum-hukum ijarah.

Demikianlah pembahasan ringkas terkait ini. Semoga bermanfaat. Semoga aktivitas Muamalah kita senantiasa sesuai dengan ketentuan Syariah.

و الله تعالى أعلم بالصواب