Hukum Pernikahan Orang Yang Berzina
Yurifa Iqbal
Di tengah-tengah kehidupan kita kaum muslimin, sudah jamak diketahui bahwa ketika ada pemuda dan pemudi pacaran, lalu berzina, apalagi sampai si pemudi (wanita) hamil, maka keduanya langsung dinikahkan oleh kedua orang tua mereka.
Dalam kacamata fiqh Islam, hal ini pun sudah dibahas oleh para fuqaha, salah satunya adalah penjelasan yang terdapat di dalam kitab الفقه على المذاهب الأربعة karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairi halaman 1084 cetakan Ad-Dar Al-Alamiyyah, dalam kitab tersebut dijelaskan sebagai berikut, yakni dalam pembahasan حكم نكاح الزانية (hukum menikahi perempuan yang berzina)
الحنفية، والشافعية – قالوا: إذا زنى رجل بامرأة يجوز له أن يتزوجها، بعد ذلك بعقد صحيح وذلك لآن ماء الزنا لا حرمة له،
“Fuqaha madzhab Hanafi dan fuqaha madzhab Syafii (Al Hanafiyyah dan Asy Syafiiyyah) berpendapat bahwa jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, boleh bagi pria tersebut untuk menikahi wanita setelah terjadinya perzinahan itu dengan akad yang benar, hal itu karena air mani zina tidak haram bagi pria tadi”.
ولما روي أن رجلاً زنى بامرأة في زمن أبي بكر الصديق رضي الله عنه فجلدهما مائة جلدة، لأنهما كانا غير محصنين، ثم زوج أحدهما من الآخر، ونفاهما سنة،
“Sebagaimana diriwayatkan bahwa ada pria yang berzina dengan wanita pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq -semoga Allah meridhoinya-, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq -semoga Allah meridhoinya- mencambuk mereka berdua dengan 100 kali cambukan karena keduanya ghair muhshon (belum nikah), kemudian Abu Bakar menikahkan mereka satu sama lain dan menyingkirkan (membuang) mereka berdua selama satu tahun”.
وروي مثل ذلك عن عمر، وأبن مسعود، وجابر بن عبد الله رضي الله تعالى عنهم، وقال أبن عباس رضي الله عنهما في هذا الحكم: أوله سفاح، وآخره نكاح والنكاح مباح فلا يحرم السفاح النكاح، ذلك مثل رجل سرق من حائط ثمرة، ثم أتى صاحب البستان فاشترى منه ثمرة، فما سرق حرام، وما اشترى حلال.
“Dan diriwayatkan juga yang semisal dengan hal tersebut dari Umar, Ibnu Mas’ud, dan Jabir bin Abdillaah -semoga Allah meridhoi mereka-, dan Ibnu Abbas -semoga Allah meridhoinya- berkata dalam hukum ini : awalnya zina, dan akhirnya menikah, maka pernikahan tersebut hukumnya mubah, dan perzinaan tidaklah mengharamkan pernikahan, hal itu seperti seorang pria mencuri buah dari kebun, kemudian datanglah pemilik kebun yang kemudian pemilik kebun membeli buah dari pria yang mencuri tadi, maka apa yang dia curi hukumnya haram, sedangkan yang dia beli hukumnya halal”.
Bahkan dalam kitab yang sama pada halaman 984 untuk madzhab Syafiiyyah dijelaskan sebagai berikut :
أما وطء الزنا فإنه لا عدة فيه، ويحل التزوج بالحامل من الزنا ووطؤها وهي حامل على الأصح
“Adapun hubungan seks berupa zina maka tidak ada waktu iddah padanya, dan halal untuk menikahi wanita yang hamil karena perbuatan zina dan juga halal berhubungan seks dengannya meski wanita itu dalam keadaan hamil dalam pendapat yang paling ashoh (paling shohih)”.
Itulah madzhab Syafiiyyah yang notabene dianut oleh sebagian besar kaum muslimin di Nusantara ini, sehingga KUA pun juga memiliki dasar mengapa mereka menikahkan pasangan pria dan wanita yang berzina yang mengakibatkan wanita tersebut hamil.
Sedangkan madzhab Al Hanafiyyah hampir sama dengan madzhab Syafiiyyah namun ada sedikit perbedaan, madzhab Al Hanafiyyah berpendapat,
أما الحبلى من زنا فإنها لا عدة عليها، بل يجوز العقد عليها، ولكن لا يحل وطؤها حتى تضع الحمل
“Adapun wanita yang hamil karena berzina, maka tidak ada iddah padanya, bahkan boleh aqad (menikahi) wanita yang hamil karena berzina itu, akan tetapi tidak halal berhubungan seks dengannya sampai wanita tersebut melahirkan kandungannya”.
Namun harus dicatat, bahwa bukan berarti madzhab Al Hanafiyyah dan Syafiiyyah melegalkan perbuatan zina, karena zina tetap dosa besar.
Kemudian madzhab Malikiyyah memiliki pendapat yang berbeda dalam hal ini,
المالكية – قالوا: إذا زنى الرجل بالمرأة فلا يصح له أن ينكحها حتى يستبرئها من مائه الفاسد، لأن النكاح له حرمة، ومن حرمته ألا يصب على ماء السفاح، فيختلط الحلال بالحرام ويمتزج ماء المهانة بماء العزة، ولأن الله تعالى يقول: {الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة} ثم قال {وحرم ذلك على المؤمنين} .
“Adapun fuqaha madzhab Maliki (madzhab Malikiyyah) berpendapat jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, maka tidak sah dia menikahi wanita tersebut, sampai dia membersihkan wanita tadi dari air maninya yang fasid/rusak, karena pernikahan adalah sesuatu yang suci dan diantara kesucian pernikahan adalah tidak ditumpahkan diatas air mani perzinaan dimana bercampur antara yang halal dengan yang haram dan terjadinya percampuran air kehinaan dengan air kemuliaan, sungguh Allah berfirman dalam surat An-Nur ayat 3 : seorang pezina pria tidak menikahi kecuali pezina wanita atau wanita yang musyrik, kemudian Allah melanjutkan firman-Nya : dan diharamkan hal tersebut bagi kaum mukminin”.
وقد وري عن أبن مسعود رضي الله عنه أنه قال: (إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً) فإن الله تعالى يقول: {وأحل لكم ما وراء ذلك أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين} فأباح نكاح غير المسافحين وأبطل نكاح غيرهما.
“Dan sungguh telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud -semoga Allah meridhoinya- bahwa dia berkata : jika seorang pria berzina dengan seorang wanita kemudian dia menikahinya setelah zina tersebut, maka keduanya adalah pezina selama-lamanya, sungguh Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 24 : dan dihalalkan bagi kalian selain dari yang demikian untuk mencari wanita dengan harta-harta kalian tersebut untuk menikah bukan untuk melakukan zina. maka Allah membolehkan pernikahan yang bukan untuk berzina dan membatalkan nikah selain itu”.
واتفقوا على أنه إذا عقد عليها، ولم يدخل بها حتى استبراها من مائه الحرام فإن ذلك جائز، وروي عن عائشة رضي الله عنها أنها سئلت عن رجل زنى بامرأة ثم تزوجها، فكرهته.
“Dan para ulama Al Malikiyyah tersebut sepakat bahwa jika seorang pria melakukan aqad nikah atas seorang wanita maka dia tidak melakukan hubungan suami istri dengan si wanita tadi sampai dia membersihkannya dari air mani yang haram maka hal tersebut hukumnya boleh, dan diriwayatkan dari Aisyah -semoga Allah meridhoinya- ketika dia ditanya terkait seorang pria yang berzina dengan wanita kemudian menikahinya, maka Aisyah membenci hal tersebut”.
Demikianlah yang dijelaskan dalam kitab الفقه على المذاهب الأربعة karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairi
Adapun kutipan jawaban dari sebuah pertanyaan yang terdapat di link situs https://ar.islamway.net/fatwa/43035/حكم-الزواج-بمن-زنا-بها, adalah sebagai berikut :
أما زواج الزاني بمن زنى بها، فقد اختلف أهل العلم في صحته، فذهب الجمهور إلى: أنه صحيح، وذهب الإمام أحمد، ورجَّحه شيخ الإسلام ابن تيمية: إلى القول بالتحريم حتى يَتُوبا؛ وهذا هو الراجح.
“Adapun pernikahan pezina pria dengan wanita yang dia zinai, maka sungguh ahli ilmu berbeda pendapat apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sah. jumhur fuqaha berpendapat bahwa pernikahan tersebut sah, sedangkah Imam Ahmad berpendapat dimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah merajihkan pendapat Imam Ahmad ini bahwa pernikahan tersebut hukumnya haram sampai keduanya (pria dan wanita yang berzina) bertaubat kepada Allah, dan inilah pendapat yang rajih“.
والراجح والله أعلم: هو ما ذهب إليه الإمام أحمد ومَن وافقه، وهو الذي رجّحه ابن تيمية رحمه الله قال: “نكاح الزانية حرام حتى تتوب، سواء كان زنى بها هو أو غيره، هذا هو الصواب بلا ريب، وهو مذهب طائفة من السلف والخلف، منهم أحمد بن حنبل وغيره، وذهب كثير من السلف إلى جوازه، وهو قول الثلاثة”.اهـ. وعليه؛ فلا يجوز الزواج بمن زُني بها حتى تتوب إلى الله تعالى، وتَعْتَدُّ هي من ذلك الزنا، على الراجح من قولَي أهل العلم.
“Adapun yang rajih, -wallaahu a’lam- adalah pendapat Imam Ahmad dan juga orang yang menyepakatinya, dan pendapat ini pula yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyyah -semoga Allah merahmatinya- dimana dia berkata : pernikahan wanita yang berzina hukumnya haram sampai wanita itu bertaubat kepada Allah, sama saja keharamannya apakah menikah dengan pria yang berzina dengannya atau pria lainnya. dan inilah yang benar tanpa ada keraguan, dan ini juga pendapat dari sekelompok ulama salaf dan khalaf, diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. dan mayoritas ulama salaf berpendapat hukumnya boleh (pernikahan wanita yang berzina) dimana ini adalah pendapat 3 Imam”.
وعليه؛ فلا يجوز الزواج بمن زُني بها حتى تتوب إلى الله تعالى، وتَعْتَدُّ هي من ذلك الزنا، على الراجح من قولَي أهل العلم.
“Atas hal tersebut, maka tidak boleh ada pernikahan laki-laki yang telah menzinai wanita tersebut sampai wanita itu bertaubat pada Allah dan menjalani masa iddah dari zina, itu adalah pendapat yang rajih diantara dua pendapat ahli ilmu“.
وعِدَّتُها: هي وضع حملها إن حملت أوِ اسْتِبْرَاؤها بحيضة إن لم تحمل لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “لا تُوطَأْ حاملٌ حتى تضع، ولا غيرُ ذات حمل حتى تحيض حيضة” (رواه أبو داود).
“Dan iddah wanita tersebut adalah jika telah melahirkan kandungannya jika wanita itu hamil dan istibronya rahim wanita tersebut yang ditandai dengan haidh jika wanita itu tidak hamil berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه و سلم : tidak boleh wanita hamil digauli sampai dia melahirkan dan bagi wanita yang tidak hamil sampai dia haidh satu kali (HR. Abu Dawud)”.
Demikianlah penjelasan para fuqaha terkait hal ini, semoga kita dan juga anak keturunan kita terjaga dari perbuatan zina. Aamiin.
Wallaahu A’lam.