Batasan Taqlid Kepada Mujtahid Dalam Berbagai Persoalan
Yurifa Iqbal
tulisan ringkas ini bermula dari pertanyaan yang ditanyakan kepada penulis dalam sebuah forum, tulisan merujuk ke kitab تيسير الوصول إلى الأصول pada pembahasan التقليد dan sedikit kutipan dari kitab الشخصية الإسلامية juz 1
dalam kitab تيسير الوصول إلى الأصول ini di halaman 271, syaikh عطاء بن خليل menjelaskan pengertian taqlid secara bahasa adalah
اتباع الغير دون تأمل
mengikutin orang lain tanpa penelitian
masih dalam kitab yang sama, sedangkan salah satu definisi taqlid secara syar'i dalam disiplin ilmu ushul fiqh adalah
العمل بقول الغير من غير حجة ملزمة كأخذ العامي بقول المجتهد و أخذ المجتهد بقول من هو مثله
beramal dengan perkataan/pendapat orang lain tanpa hujjah yang mengikat seperti orang awam yang mengambil pendapat mujtahid, dan seorang mujtahid yang mengambil pendapat orang yang selevel seperti dirinya (sesama mujtahid)
lalu bolehkah taqlid dalam hukum syara'?
syaikh melanjutkan
أما التقليد في الأحكام الشرعية فجائز
adapun taqlid dalam hukum-hukum syariah maka hal tersebut boleh, dalilnya
( وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ) الأنبياء (7)
dan tidaklah KAMI mengutus sebelum engkau kecuali utusan-utusan yang KAMI berikan wahyu pada mereka, maka bertanyalah kalian kepada ahla dzikr (yang berilmu) jika kalian tidak mengetahui, Al Anbiya ayat 7
dalam ayat ini Allah memerintahkan orang-orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada orang yang lebih berilmu, dan ayat ini lafazhnya umum, sebagaimana kaidah
و العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
dan pelajaran itu diambil dari keumuman lafazh, bukan dari kekhususan sebab
dan taqlid ini tidaklah mengantarkan kepada keyakinan, tidak juga kepada dugaan kuat, dan oleh karena itu, banyak dari ulama yang tidak memperbolehkan taqlid, kecuali karena lemah dan ketidakmampuan, serta keterpaksaan, yaitu orang awam yang tidak ada pada dirinya alat untuk berijtihad. maka untuk hal inilah para ulama mengharuskan atau memperbolehkan orang awam tersebut untuk meminta fatwa kepada ulama dan taqlid kepada ulama tersebut
kemudian batasan taqlid kepada kepada mujtahid adalah sebagai berikut, bahwa hukum syara pada diri muqallid adalah hukum syara yang diistimbath oleh seorang mujtahid yang ditaqlidinya, dalam hal ini terdapat dua permasalahan
1. jika amal seseorang yang bertaqlid ada kaitan dan hubungan dalam suatu permasalahan yang ditaqlidinya, maka tidak boleh baginya berpaling dari permasalahan itu dan bertaqlid kepada mujtahid lain karena dia sudah terikat dengan hukum syara dalam permasalahn itu dan beramal dengannya
2. jika tidak ada kaitan dan tidak ada hubungan, maka boleh bertaqlid kepada mujtahid yang lain
adapun definisi dari المسألة atau permasalahan dalam pembahasan ini adalah
كل فعل أو مجموعة أفعال لا يتوقف غيرها في صحته عليها
setiap perbuatan atau sekumpulan perbuatan yang tidak tergantung sahnya perbuatan tersebut dengan selainnya (tidak ada saling keterkaitan)
sedangkan جزء المسألة atau bagian masalah adalah
كل فعل لا بد منه لتحقيق صحتها كالشروط و الأركان
setiap perbuatan yang harus ada agar terealisasi ke-sah-annya seperti syarat-syarat dan rukun-rukun
misalnya adalah sholat, adalah perbuatan yang tidak tergantung sahnya sholat tersebut dengan selain sholat, maka ini adalah المسألة atau permasalahan sebagaimana definisi diatas
dan yang menjadi bagian dari permasalahan adalah setiap apa-apa yang harus ada agar terealisasi ke-sah-annya seperti rukun-rukun dan syarat-syarat seperti bersuci dan menghadap kiblat
maka jika seorang awam bertaqlid kepada mujtahid dalam sholat, maka wajib bagi awam tersebut untuk taqlid dalam semua bagian-bagian sholat seperti wudhu, mandi janabah, tayammum, menghadap kiblat, dan rukun-rukun sholat
dan boleh bertaqlid kepada mujtahid lain dalam permasalahan selain sholat semisal puasa, qurban, dll
dalam kitab الشخصية الإسلامية juz 1 halaman 235 karya syaikh تقي الدين النبهاني juga dijelaskan terkait hal ini, syaikh menjelaskan bahwa tidak sah bagi orang yang bertaqlid kepada Imam Syafii bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu dan dia tetap sholat berdasarkan madzhab Imam Syafii !! (karena dalam madzhab Imam Syafii, menyentuh wanita membatalkan wudhu)
maka kesimpulannya adalah
يشترط فيها أن تكون مسألة منقطعة عن غيرها ولا يترتب على تركها الإخلال بأحكام شرعية أخرى
disyaratkan bahwa permasalahan itu tidak ada kaitan/hubungan dengan selainnya dan tidak menyebabkan ketika ditinggalkannya permasalahan itu terganggunya atau bahkan batalnya hukum syariah yang lain
و الله أعلم
referensi kitab
تيسير الوصول إلى الأصول للشيخ عطاء بن خليل ص. ٢٧١-٢٧٤
الشخصية الإسلامية للشيخ تقي الدين النبهاني ج. ١ ص. ٢٣٤-٢٣٥