Sebagian Hukum-Hukum Fiqih Terkait Virus Covid 19 Bagian 1
Yurifa Iqbal, S.Si.
Telah kita ketahui bersama bahwa virus Covid 19 telah menjadi pandemi, dimana WHO pada tanggal 11 Maret 2020 telah menetapkan Covid 19 sebagai pandemi, pandemi sendiri artinya adalah epidemi yang telah menyebar ke beberapa negara atau benua dan umumnya menjangkiti banyak orang.
Tentu timbul pertanyaan dalam diri kita, bagaimana dengan korban (Muslim/Muslimah) yang meninggal akibat virus Covid 19 ini?
Dalam kitab الأحكام الفقهية المتعلقة بوباء كورونا karya أستاذ دكتور خالد بن علي المشيقح di halaman 22-23 dijelaskan secara ringkas sebagai berikut :
صلاة الجنازة فرض كفاية لما يأتي من حديث أم عطية وابن عباس. ما يقال في صلاة الجماعة يقال هنا في صلاة الجنائز، فإذا خشي الضرر بالعدوى و انتشار المرض لم تصل في المساجد، فإذا عطلت صلاة الجنازة في المساجد أو المقابر خشية انتشار المرض، أو العدوى فإنها تصاى فرادى إقامة لفرض الكفاية
Sholat jenazah hukumnya fardhu kifayah berdasarkan hadits dari ummu 'athiyah dan ibnu abbas. Apa yang telah disebutkan dalam sholat jamaah (dalam kitab ini) maka itu pula yang akan disebutkan dalam sholat jenazah, jika ada bahaya yang dikhawatirkan berupa penularan/infeksi dan tersebarnya penyakit, maka jenazah tidak disholatkan di Masjid, maka jika sholat jenazah tidak diadakan di Masjid ataupun kuburan karena takut tersebarnya penyakit ini (baca virus Covid 19) atau takut tertular, maka jenazah disholatkan per individu secara terpisah yang ditunaikan untuk (mengganti) fardhu kifayah.
kemudian terkait memandikan jenazah, pada halaman 23 أستاذ دكتور خالد بن علي المشيقح menjelaskannya sebagai berikut :
المصاب إذا مات فإنه يغسل، و هذا ما عليه جماهير العلماء من وجوب تغسيل الميت، خلافا للإمام مالك فإنه يرى أن تغسيل الميت سنة، و الصواب : أنه واجب
seseorang yang ditimpa penyakit jika dia mati maka harus dimandikan, hal ini sebagaimana pendapat jumhur ulama/fuqaha yang berpendapat wajibnya memandikan mayat, berbeda dengan pendapat Imam Malik yang berpendapat bahwa memandikan mayat hukumnya sunnah. Dan yang benar dalam hal ini hukumnya adalah wajib.
لكن إن خشي من العدوى بمباشرته بالتغسيل فإنه يصب عليه الماء من وراء الثياب مع التحرز بلبس الموانع
akan tetapi jika ditakutkan tertular penyakit dari aktivitas memandikan mayat, maka air dituangkan/dialirkan atas mayat dari balik bungkusan mayit disertai kehati-hatian dalam menjaga diri dengan memakai pakaian pelindung.
kemudian beliau melanjutkan
إذا لم يتمكن من تغسيله و تكفينه و الصلاة عليه، فإنه يصلى عليه صلاة الغائب لحديث جابر بن عبد الله رضي الله عنهما : "أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى على النجاشي، فكنت في الصف الثاني أو الثالث" رواه البخاري و مسلم
Hal yang cukup menarik adalah, hukum memandikan jenazah ini terdapat khilaf diantara para fuqaha, sebagaimana yang sempat disinggung diatas secara singkat, Imam Malik berbeda pendapat dengan jumhur fuqaha. Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid halaman 238 cetakan Ad Dar Al Alamiyyah, Imam Ibnu Rusyd dalam الباب الثاني في غسل الميت menjelaskan :
في حكم الغسل فأما حكم الغسل: فإنه قيل فيه إنه فرض على الكفاية. وقيل سنة على الكفاية. والقولان كلاهما في المذهب.
adapun hukum memandikan mayat, bahwasanya dikatakan hukumnya fardhu kifayah, dan dikatakan juga sunnah kifayah, dan kedua pendapat ini adalah pendapat madzhab Imam Malik.
والسبب في ذلك: أنه نقل بالعمل لا بالقول، والعمل ليس له صيغة تفهم الوجوب أو لا تفهمه. وقد احتج عبد الوهاب لوجوبه بقوله - عليه الصلاة والسلام - في ابنته «اغسلنها ثلاثا أو خمسا» وبقوله في المحرم «اغسلوه» .
dan penyebab perbedaan itu adalah memandikan mayat itu dinukil dari amal perbuatan Nabi صلى الله عليه و سلم bukan dari pernyataan Nabi صلى الله عليه و سلم, dan dari amal perbuatan itu tidak ada kata yang dapat memberikan pengertian akan wajib atau tidaknya hal tersebut. dan sungguh telah berhujjah abdul wahhab akan wajibnya memandikan mayat dengan pernyataan Nabi صلى الله عليه و سلم ketika memandikan putrinya : mandikanlah dia tiga atau lima kali, dan juga pernyataan Nabi صلى الله عليه و سلم terkait meninggalnya seseorang dalam keadaan ihram (muhrim) : mandikanlah dia.
فمن رأى أن هذا القول خرج مخرج تعليم لصفة الغسل لا مخرج الأمر به لم يقل بوجوبه، ومن رأى أنه يتضمن الأمر والصفة قال بوجوبه.
maka barang siapa yang berpendapat bahwa pernyataan Nabi صلى الله عليه و سلم ini keluar karena untuk mengajarkan sifat mandi bukan keluar karena perintah untuk memandikan mayat, maka memandikan mayat hukumnya tidak wajib dan barang siapa yang berpendapat bahwa pernyataan Nabi صلى الله عليه و سلم mengandung perintah untuk memandikan mayat dan sifat mandi, maka hukum memandikan mayat adalah wajib.
Jadi dari keterangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa memandikan mayat hukumnya adalah sunnah kifayah berdasarkan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Malik, bukan kewajiban. Tentu saja pendapat ini bisa dipertimbangkan untuk diambil dalam situasi pandemi virus Covid 19 ini, karena kehati-hatian untuk menjaga diri agar tidak tertular.
Hal ini juga sejalan dengan beberapa kaidah yaitu
المشقة تجلب التيسير
kesulitan mendatangkan kemudahan
dan kaidah
الضرر يزال
bahaya harus dihilangkan
dimana kaidah tersebut juga tercantum dalam fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid 19.
Demikianlah, semoga Allah menjaga kaum muslimin dari pandemi Covid 19 ini, semoga Allah senantiasa memberikan kita kesehatan. aamiin
والله تعالى أعلم بالصواب